Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Minggu, 24 Maret 2024 | 16:23 WIB
Abdi dalem dan kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat mengikuti Kirab Malam Selikuran dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menuju Masjid Agung, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (25/5). [ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha]

Terlepas dari hal itu, konon tradisi Malam Selikuran ini sudah ada sejak zaman Wali Songo, yakni Sing Linuwih Ing Tafakur yang artinya giat mendekatkan diri kepada Allah pada malam-malam terakhir bulan Ramadan. Hal itu kemudian disesuaikan dengan budaya Jawa hingga muncullah tradisi Malam Selikuran.

Istilah Malam Selikuran sendiri berasal dari bahasa Jawa Selikur yang artinya dua puluh satu, yang merujuk pada malam 21 Ramadan. Momen ini sekaligus menjadi peringatan ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu ayat Al-quran untuk pertama kali.

Selain itu, tradisi Malam Selikuran ini juga ada kaitannya dengan petuah yang ditulis oleh Pakubuwana IV dalam salah satu karyanya, yakni Serat Wulangreh dalam tembang Dhandhanggula. Secara harfiah, Serat Wulangreh tersebut berisi pengajaran dan perintah yang ingin mengungkap kedalaman makna Al-Quran.

Kontributor : Dinnatul Lailiyah

Baca Juga: Menelusuri Jejak Sejarah Masjid Paromosono: Masjid Pertama di Luar Keraton Solo

Load More