Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Senin, 04 Desember 2023 | 19:49 WIB
Makam Ki Gede Sala, Kyai Carang, dan Nyai Sumedang. [Suara.com/Ari Welianto]

SuaraSurakarta.id - Ki Gede Sala merupakan tokoh yang diyakini banyak pihak sebagai pendiri Kota Solo. Kota Solo dahulu merupakan Desa Sala yang masih hutan belantara, rawa dan belum banyak dijumpai pemukiman dan warga.

Berada di Desa Sala inilah dibangun Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat usai Keraton Kartasura hancur akibat perang saudara hingga berdiri sampai sekarang.

"Ki Gede Sala bersama Kyai Carang dan Nyai Sumedang yang mempunyai atau penguasa Desa Sala waktu itu," terang Juru Kunci Makam Ki Gede Sala, Joko Saputro Adi (46) saat ditemui, Senin (4/12/2023).

Sebelum dibangun keraton baru, raja keraton waktu itu mengutus Patih Pringgoloyo untuk mencari bakal lokasi keraton baru. Ada tiga opsi yang menjadi lokasi untuk keraton baru, yakni di daerah Pasar Kembang, Masjid Agung, dan Sonosewu Mojolaban.

Baca Juga: Prihatin Kasus Dugaan Kumpul Kebo Wakil Pengageng Keraton Solo, Cucu PB XI: Segera Lengserkan!

Kemudian Patih Pringgoloyo kembali keraton tapi di diminta Sinuhun untuk datang lagi ke arah barat. Nanti bakalan ketemu orang yang di situ, kemudian patih kembali lagi ke sini ternyata sudah ada penghuninya dan ketemu Ki Gede Sala, Kyai Carang dan Nyai Sumedang. 

Selanjutnya Ki Gede Sala dan utusan keraton berkomunikasi soal rencana pemindahan lokasi dibangunnya keraton baru.

"Ki Gede Sala mempersilahkan monggo mau ditempati di mana saja. Yang penting bangunannya bagus dan untuk kelestariannya ada," ujar dia.

Dari petunjuk tiga lokasi bakal keraton baru, Ki Gede Sala pun memberikan pertimbangan soal pembangunan keraton baru.

Ki Gede Sala menyebut kalau lokasi di daerah Pasar Kembang itu bakalan besar tapi tidak bisa berkembang lebih besar lagi. Karena terjadi perang saudara lagi. 

Baca Juga: Bantah Digerebek Warga, Wakil Pengageng Keraton Solo Ungkap Status Sang Wanita

Untuk lokasi yang sekarang Masjid Agung bakal lestari tapi tidak sebesar keraton yang dulu. Sedangkan di Sonosewu itu disebut semuanya akan baik-baik saja, lestari, tambah kaya dan rakyatnya makmur tapi dijanji kalau keraton harus kembali ke agama Hindu. 

"Untuk opsinya itu diambil yang kedua. Tapi Ki Gede Sala memberikan masukan boleh dibangun di sini namun agak lebih baik lagi digeser ke selatan seperti saat ini," ungkap dia. 

Setelah disetujui kemudian keraton dibangun dan selesai, pada 18 Februari 1700-an baru pindah dari Kartasura ke Desa Sala ini. Namun begitu sebelum keraton pindah ke sini Ki Gede Sala meninggal.

"Jadi Ki Gede Sala itu belum pernah mengetahui perpindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala ini. Karena sebelum pindah atau boyong Kedaton sudah meninggal," ceritanya.

Ki Gede Sala kemudian dimakamkan di dekat keraton yang baru selesai dibangun yakni Kelurahan Baluwarti. Pada makam Ki Gede Sala ada tandanya yakni pohon soka yang mudah dilihat.

"Bagaimana meninggalnya saya kurang tahu, pokoknya ditaruh di dekat keraton dan tandai saja dengan pohon apa yang supaya gampang. Akhirnya ditanami Pohon Soka, jadi pohon itu ditanam sekitar tahun 1700 sampai sekarang masih berdiri," tandas dia.

Pada makam Ki Gede Sala tidak sendirian ada juga Makam Kyai Carang dan Nyai Sumedang. Ketiga merupakan saudara seperguruan.

"Menurut cerita simbah itu, Ki Gede Sala itu guru yang ada di Jawa Tengah, Kyai Carang itu guru di Jawa Timur, dan Nyai Sumedang guru dari Jawa Barat," pungkasnya.

Kontributor : Ari Welianto

Load More