Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Rabu, 22 Februari 2023 | 07:05 WIB
Banjir di Kelurahan Joyontakan, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo yang bersebelahan dengan Kabupaten Sukoharjo, Jumat (17/2/2023). [ANTARA/Aris Wasita]

SuaraSurakarta.id - Pakar Lingkungan Universitas Sebelas Maret (UNS), Prabang Setyono mengungkap sejumlah catatan berkaitan dengan penanganan banjir di Solo dan sekitarnya.

Seperti diketahui, Kota Solo dan sejumlah wilayah lainnya dihantam banjir, Kamis-Sabtu (16-18/2/2023). Akibatnya, ribuan orang harus mengungsi.

Prabang menilai, penanganan banjir belum maksimal karena adanya ego sektoral dalam hal ini pemangku kepentingan masih sangat kental.

"Sehingga, banjir menjadi momok bagi masyarakat khususnya yang berdekatan dengan bantaran," kata Prabang Setyono dilansir dari Timlo.net--jaringan Suara.com, Rabu (22/2/2023).

Baca Juga: Potensi Bencana Hidrometeorologi di 13 Kabupaten dan Kota di Jawa Barat, Ini Kata BMKG

Dia memaparkan, adanya bangunan liar di kawasan aliran sungai menjadi masalah besar yang hingga kini belum bisa dipecahkan, bahkan semakin tak terkendali.

Prabang pun mempertanyakan, bangunan di pinggiran sungai yang bisa dilengkapi dengan sertifikat, fasilitas air, listrik dan fasilitas lainnya.

Seharusnya, lanjut dia, bangunan-bangunan tersebut tidak bisa berdiri di kawasan itu jika masing-masing pihak berkoordinasi satu dengan yang lain.

"Jika salah satu sistem itu rusak, maka akan berpengaruh dengan sistem lainnya. Seperti permasalahan bangunan di pinggir aliran sungai, jika itu dibolehkan dan dilengkapi fasilitas. Tentunya, akan terus berkembang," tegasnya.

Dikatakan, fenomena banjir di Kota Bengawan terjadi karena permasalahan yang kompleks. Diakui atau tidak Kota Solo memiliki permasalahan yang kompleks terhadap fenomena banjir.

Baca Juga: Akibat Banjir, 30 Hektare Sawah di Pantura Subang Puso

Salah satu alasan lainnya karena bentuknya sebagai kota tua dengan sistem pengelolaan yang sudah terbentuk sejak zaman nenek moyang.

"Mengelola kota tua dengan berbagai permasalahan tentu jauh lebih sulit ketimbang membuat kota baru yang berdiri di atas tanah kosong dimana semua sistemnya bisa diprogram sesuai kebutuhan kedepan," kata Prabang Setyono.

Load More