SuaraSurakarta.id - Frans Setiabudi menghela napas panjang. Dia berpikir sejenak saat hendak menceritakan memori kelamnya sekitar 50 tahun silam. Sore itu, Frans baru saja selesai bermain sepak bola bersama koleganya di klub lansia Tunas Nusa Harapan (TNH) di Lapangan Karangasem, Laweyan, Solo.
Meski usianya sudah menginjak 75 tahun, mantan bintang Persis Solo keturunan Tionghoa itu masih rutin mengolah si kulit bundar.
“Enggak mudah Cina seperti saya jadi pemain bola di Indonesia, apalagi setelah peristiwa 1965,” ujar winger Persis medio 1964-1976 itu saat ditemui beberapa waktu lalu.
Intimidasi dan hujatan berbau rasialisme menjadi santapan rutin lelaki yang akrab disapa Wewek itu. Hal ini tak lepas dari kejadian Gestapu (Gerakan September 30) 1965 yang berujung “pembersihan” kader dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kota Solo sendiri menjadi salah satu basis partai berlambang palu arit. Wewek yang berdarah Cina distigma sebagai komunis meski sama sekali tak berpolitik.
Suporter maupun pemain lawan acap melontarkan serangan rasial untuk menurunkan mental Wewek dkk. Kala itu cukup banyak pemain keturunan Tionghoa yang membela Persis.
Selain Wewek, ada Hong Widodo, Sie Kingtjong, Kwa Biek Tjong, Kok Bie, Liong Ho, Ek Gwan, Tjin Boen hingga adik Wewek, Darmawan Setiabudi.
“Orang-orang tahunya RRC (Republik Rakyat Cina) berhaluan komunis, semua orang keturunan Cina digebyah uyah (dianggap sama). Padahal kami bukan (komunis),” ucap Wewek yang sempat menjadi kapten Persis.
Tak hanya serangan rasial, para pemain keturunan sempat mendapatkan ancaman fisik. Frans dipukul pemain lawan lantaran berontak ketika dihina secara rasis dalam sebuah pertandingan di Semarang tahun 1970-an.
Baca Juga: Viral! Koh Steven Telah Mengislamkan 63 Ribu Orang, Al Jazeera Menyebutkan Hal Itu
Seusai laga, pemain klub lawan giliran mencari hotel tempat Frans menginap. Mereka hendak menghajar Frans.
“Untungnya saya diselamatkan salah satu pemain lawan. Dia memberitahu saya agar segera pulang ke Solo,” kenang kakek tiga cucu itu.
Sentimen terhadap etnis Tionghoa ditambah penghasilan yang jauh dari cukup membuat Wewek gantung sepatu pada 1976.
Dia memilih berlayar, meninggalkan mimpi meraih trofi nasional bersama Persis. Setelah itu, eksistensi pesepakbola keturunan Tionghoa di Kota Bengawan berangsur pudar.
Pada periode 1980-an, praktis hanya Isnugroho pemain keturunan Tionghoa yang tersisa di Persis. Kerusuhan antaretnis yang kembali terjadi pada 1980 dan 1998 membuat regenerasi pesepakbola profesional keturunan Tionghoa di Solo hingga nasional kian buram.
Padahal, etnis Tionghoa memiliki sejarah panjang di sepak bola Indonesia. Pada 1905, mereka mewarnai perkembangan sepak bola dengan membikin klub Union Makes Strength (UMS).
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Siapa Pencipta Sound Horeg? Ini Sosok Edi Sound yang Dijuluki Thomas Alva Edisound dari Jawa Timur
- Jelang Ronde Keempat, Kluivert Justru Dikabarkan Gabung Olympique Lyon
- Duel Mobil Murah Honda Brio vs BYD Atto 1, Beda Rp30 Jutaan tapi ...
- Harga Mitsubishi Destinator Resmi Diumumkan! 5 Mobil Ini Langsung Panik?
- 41 Kode Redeem FF Max Terbaru 24 Juli: Klaim Skin Scar, M1887, dan Hadiah EVOS
Pilihan
-
8 Rekomendasi HP Murah Anti Air dan Debu, Pilihan Terbaik Juli 2025
-
Fenomena Rojali dan Rohana Justru Sinyal Positif untuk Ekonomi Indonesia
-
5 Rekomendasi HP 5G Xiaomi di Bawah Rp 4 Juta, Harga Murah Spek Melimpah
-
Kisah Unik Reinkarnasi di Novel Life and Death are Wearing Me Out
-
10 Model Gelang Emas 24 Karat yang Cocok untuk Pergelangan Tangan Gemuk
Terkini
-
Menggebrak Ekonomi Lokal: 2.100 Pelari Siksorogo Ring of Lawu Ramaikan Tawangmangu
-
Kunjungan ke Kampung Batik Laweyan, Komisi VII DPR RI Soroti Urgensi Pelestarian Budaya
-
Jokowi Sempat Mengelak Hadiri Reuni Alumni UGM, Ini Respon Iriana
-
Momen Kikuk Jokowi: Ngaku Jenguk Saudara, 'Dikeplak' Iriana: Mau Reuni UGM!
-
Gerakan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Dukung Kejaksaan Tuntaskan Kasus Tom Lembong