Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Jum'at, 04 Maret 2022 | 18:40 WIB
Tugu Pemandengan atau lebih dikenal tugu titik nol Kota Solo. [Suara.com/Ari Welianto]

SuaraSurakarta.id - Tugu Pemandengan, dikenal juga sebagai tugu titik nol kilometer Kota Solo.

Terletak di Jalan Jenderal Sudirman atau tepatnya depan Balai Kota Solo, tugu tersebut merupakan salah satu bangunan peninggalan sejarah dan termasuk bangunan cagar budaya (BCB).

Tugu Pemandengan memiliki tinggi tiga meter dan bangunannya berbentuk segiempat mengerucut ke atas dengan empat lentera mengarah ke segala arah. 

Diperkirakan, tugu bersejarah tersebut adalah peninggalan Raja Keraton Kasunanan Surakarta, Pakubuwono (PB) VI hingga PB X. 

Baca Juga: Gibran Dikabarkan Jalani Tes PCR dan Tak Terlihat di Balai Kota Solo, Bagaimana Kondisinya?

Ada juga yang menyebutkan tugu itu dibangun seiring perpindahan keraton dari Kartasura ke Surakarta pada Pemerintahan PB II.

Memang tidak ditemukan data otentik tahun berapa Tugu Pemandengan itu dibangun.

"Perkiraan dibangun pada masa PB IV. Tugu Pemandengan itu dikenal sebagai tugu titik nol Kota Solo," ujar  Pemerhati Sejarah dan Budaya Kota Solo, Mufti Raharjo, Jumat (4/3/2022).

Dijelaskan, jika Tugu Pemandengan itu dibangun menjadi titik kosmologi perkotaan pada zamannya.  

Dulu tugu tersebut sebagai titik fokus pandangan raja Keraton Kasunanan Surakarta saat lenggah atau duduk di Sitihinggil.

Baca Juga: Yuk Tetap Disiplin Prokses, Jumlah Penghuni Isolasi Terpusat di Solo Mulai Turun

"Kalau Sinuhun duduk di Pagelaran melihatnya Tugu Pemandengan ke arah utara. Jadi buat titik fokusnya pandangan Sinuhun, titik sentral spiritual," jelas Mufti.

Jika Sinuhun itu duduk di Sitihinggil, lanjut dia, ada para abdi dalem serta sentono sampai alun-alun utara. Pandangan Sinuhun lurus ke Tugu Pemandengan, jadi tidak melihat di sekitarnya.

"Jadi kelihatan wibawa. Jadi pandangannya itu lurus ke Tugu Pemandengan," katanya. 

Menurutnya, lokasi Tugu Pemandengan itu memang lurus dengan Keraton Kasunanan Surakarta. 

Diantara garis tersebut terdapat garis spiritual, yang mana ditandai dengan Masjid Agung Surakarta dan Gereja di dekat Gladak. Kemudian garis duniawi yang ditandai dengan ada Pasar Gede. 

"Jadi itu dipisahkan oleh Tugu Pemandengan," sambung dia.

Sinuhun, duduk di Sitihinggil biasanya saat pisowanan agung. Pisowanan agung adalah tradisi yang menunjukan hubungan antara raja atau sultan dengan rakyatnya.

Biasanya abdi dalem atau rakyat saat acara tersebut sampai alun-alun utara. Itu yang datang ke keraton dari berbagai daerah, seperti Trenggalek, Sumenep atau Ponorogo.

"Biasanya Sinuhun lenggah itu pas pisowanan agung, bahasa kerennya open house atau halal bi halal," imbuh Mufti. 

Selain itu juga dipakai titik pandang raja terhadap pusat Pemerintahan Belanda yang dahulu berada di Balai Kota Solo sekarang. 

Kontributor : Ari Welianto

Load More