Al-Qaeda didirikan oleh jutawan Saudi Osama Bin Laden pada akhir 1980-an. Namanya berarti "pangkalan" atau "jaringan", dan ia berfungsi sebagai jejaring dukungan logistik dan persenjataan bagi Muslim yang berperang melawan Uni Soviet.
Bin Laden merekrut orang-orang dari berbagai negara Islam untuk bergabung dengan al-Qaeda.
Taliban, atau "santri" dalam bahasa Pashto, muncul pada awal 1990-an di Pakistan utara menyusul penarikan pasukan Soviet dari Afghanistan.
Gerakan yang didominasi oleh etnis Pashtun itu diyakini pertama kali muncul di madrasah-madrasah - sebagian besar dibiayai dengan uang dari Arab Saudi - yang mengajarkan Islam Sunni garis keras.
Taliban berjanji - di wilayah Pashtun yang mencakup Pakistan dan Afghanistan - untuk mengembalikan kedamaian dan keamanan serta menerapkan Syariah atau hukum Islam versi mereka sendiri setelah berkuasa.
Dari Afghanistan barat daya, Taliban dengan cepat memperluas pengaruh mereka. Pada 1996 mereka merebut Kabul dan menggulingkan rezim Presiden Burhanuddin Rabbani.
Pada 1998, Taliban menguasai hampir 90% wilayah Afghanistan.
Saat itu, al-Qaeda sudah menjadi lebih dari jejaring dukungan logistik. Mereka berubah menjadi organisasi jihadis dengan ambisi global. Dan rezim Taliban, sebagai bentuk terima kasih dan dengan imbalan pendanaan, menyambut mereka ke Afghanistan.
Namun AQI yang telah menjadi pemain kunci dalam melawan intervensi asing di Irak, juga memendam aspirasi global dengan ide-ide yang berbeda dari prinsip-prinsip orisinal al-Qaeda.
Baca Juga: Menlu Retno: Indonesia Hanya Ingin Afghanistan Jadi Negara Damai
Pada 2006, mereka bergabung dengan kelompok-kelompok ekstremis lainnya dan menggunakan nama Negara Islam Irak.
Setelah 2011, seiring kemajuannya di Suriah yang dilanda perang, Negara Islam Irak mengubah namanya menjadi Negara Islam Irak dan Suriah, menyatakan diri sebagai kekalifahan dan segera menjauhkan diri dari al-Qaeda.
Interpretasi Islam
Kesamaan antara Taliban, al-Qaeda dan ISIS adalah pendangan keras mereka tentang ajaran Islam Sunni.
Michele Groppi, seorang dosen di King's College London berkata: "Ketiga kelompok itu percaya bahwa kehidupan sosial dan politik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan beragama."
"Mereka percaya bahwa kekerasan atas nama iman bisa dibenarkan. Ini juga merupakan kewajiban: siapa yang tidak berperang, berarti bukan Muslim yang baik," katanya kepada BBC.
Groppi mengatakan pandangan ini berasal dari interpretasi literal ayat-ayat suci yang ditulis dalam konteks ancaman yang berbeda.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Skincare Reza Gladys Dinyatakan Ilegal, Fitri Salhuteru Tampilkan Surat Keterangan Notifikasi BPOM
- Tanggal 18 Agustus 2025 Cuti Bersama atau Libur Nasional? Simak Aturan Resminya
- 3 Klub yang Dirumorkan Rekrut Thom Haye, Berlabuh Kemana?
- Pemain Liga Inggris Rp 5,21 Miliar Siap Bela Timnas Indonesia di SEA Games 2025
- Selamat Datang Jay Idzes! Klub Turin Buka Pintu untuk Kapten Timnas Indonesia
Pilihan
-
Adu Kokoh Maarten Paes vs Emil Audero: Siapa Pilihan Kluivert di Kualifikasi Piala Dunia 2026?
-
Prediksi Starting XI Timnas Indonesia vs Arab Saudi: Senjata Rahasia Garuda di Jeddah?
-
5 Untung Rugi Jay Idzes ke Torino: Lonjakan Karier atau Tantangan Berisiko?
-
Selamat Tinggal Mees Hilgers! FC Twente Tak Sabar Dapat Duit Rp120 Miliar
-
Satu Kota Dua Juara: Persib dan Satria Muda Siap Cetak Sejarah Baru
Terkini
-
Mural One Piece Bikin Geger Solo, Ada yang Dihapus, Ada yang Bertahan
-
Inisiatif Puspo Wardoyo: SPPG Kembali Dibuka di Solo, Fokus Penuhi Kebutuhan Anak Sekolah
-
Kader PDIP Diminta Dukung Pemerintah, FX Rudy: Nggak Barter dengan Hasto Kristiyanto!
-
Transaksi Soloraya Great Sale Tembus Rp 10,7 Triliun, Ini Kata Gubernur Jateng
-
Screening Film Panggil Aku Ayah: Bawa Warga Solo Banjir Air Mata