Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Rabu, 25 Agustus 2021 | 15:30 WIB
Praktisi Mural dan grafiti Irul Hidayat berpose di depan mural bergambar Presiden Joko Widodo. [Suara.com/Budi Kusumo]

SuaraSurakarta.id - Mural dan grafiti diduga kritikan kepada pemerintah atas penerapan kebujakan perpanjangan PPKM menyebar di Kota Solo.

Pemkot Solo melalui Satpol PP pun langsaung merespon cepat dan langsung menutup mural itu menggunakan cat tembok oleh petugas.

Praktisi Mural dan grafiti Irul Hidayat menyebut adalah bentuk seni luapan emosional atau gagasan seseorang terhadap kondisi yang mereka lihat atau alami.

"Awal pertama grafiti itu digunakan ketika ada pergolakan masyarakat di Eropa yang protes terhadap penguasa," ungkap Irul saat ditemui Suarasurakarta.id, Rabu (25/8/2021).

Baca Juga: Kota Solo Masih PPKM Level 4, Gibran Izinkan Mal Dibuka

Namun demikian, pesan tulisan dalam seni grafiti juga bisa lebih dipandang proganda, tergantung pandangan masyarakat menyikapi sesuatu.

Pengguna jalan melintas di depan pertokoan Jl Kusumoyudan Solo yang disasar vandalisme, Senin (23/8/2021) sore. [Solopos/Nicolous Irawan]

Irul juga memberikan contoh di Indonesia pun juga terjadi pada era pra hingga pasca kemerdekaan Indonesia.

Saat itu justru tulisan grafiti yang mewarnai di tembok pintu pertokoan hingga gerbong kereta api yang terdapat tulisan mengenai semangat kemerdekaan RI.

"Nah dari itu bagaimana kita memandangnya. Kalau dari bangsa Indonesia saat itu jelas, arti semangat kemerdekaan. Namun tidak bagi penjajah dalam hal ini Belanda, mereka risi dengan keberadaan grafiti itu," tegasnya.

Irul justru memandang banyaknya mural yang tersebar dan berkaitan dengan kritikan kepada pemerintah adalah hal yang lumrah atau biasa dan sah dalam demokrasi termasuk di Indonesia.

Baca Juga: Mural di Bogor 'Seniman Diburu, Bansos Berlalu' Sindir Pemerintah?

Sementara menurut pandangan penghapusan kritikan penguasa yang dianggap vandalisme lewat tulisan grafiti , sosok yang baru saja lulus magister Seni Urban di Institute Kesenian Jakarta (IKJ) lebigh berpendapat bagaimanana cara pemerintah melihatnya.

"Pandangan saya, jika itu dianggap vandalisme yang merugikan orang lain akhirnya pada penghapusan, kan juga ada di Peraturan Daerah (Perda), menurut saya itu sah saja," tegasnya.

"Namun bagaimana dengan penyikapan vandalisme lain apakah juga sama porsinya dalam penyikapan itu. Menurut saya dalam konteks kritikan itu lebih mengarah ke sentimen," tambah dia.

Dia menambahkan, selama ini pemerintah juga kencang untuk mengatasi vandalisme dan corat-coret tanpa makna, hingga dianggap merugikan orang lain.

Mural Bertema Sosial Politik

Irul juga bercerita bahwa dirinya dan teman temannya sering melakukan aksi muralnya dengan tema sosial poltik, di jantung Kota Solo.

"Sering saya menggambar seperti Susi Pudjiastuti yang waktu itu masih menjadi menteri. Kita gambar sebagai wonder woman perang dengan perompak, hingga Jokowi menjadi supir becak," tuturnya.

Dirinya yang saat ini masih mengeyam pendidikan S3 nya di Institute Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini menambahkan, bahwa konteks ini hanya soal ekpresi seni dari masing masing personal atau kelompok sesuai ideologi mereka saja.

"Bagi seniman kan bermacam-macam. Apalagi saat ini anak muda banyak yang berpedoman akhirnya hanya satu kata, lawan," pungkasnya.

Kontributor : Budi Kusumo

Load More