SuaraSurakarta.id - Lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia menduduki tertinggi kedua di dunia. Penularan yang ditemukan adalah Covid-19 varian delta.
Eks Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari pun angkat bicara seputar kasus Covid-19 yang kian meroket di Tanah Air.
Dilansir dari Hops.id, Siti Fadilah mengatakan keheranannya soal mutasi covid-19 yang kian mengganas. Padahal seharusnya pada tiap mutasi virus, akan melemah tingkat kekuatannya menyerang manusia. Apalagi kini covid sendiri sudah hampir memasuki tahun kedua.
Dia mencontohkan adanya Flu Spanyol yang terjadi pada 1918 lalu. Menurut dia, kasus flu Spanyol ketika itu bertahan sampai lebih dari dua tahun. Ketika itu banyak orang yang meninggal karenanya.
Dan yang bertahan hidup adalah orang yang benar-benar memiliki antibodi sangat tinggi.
Flu kemudian lenyap seiring tingkat kekebalan manusia yang kian meninggi. Dari sana Siti Fadilah Supari kemudian heran, untuk kasus covid, mengapa mutasinya menjadi lebih ganas ketimbang pertama kali merebak.
“Kalau dulu memang enggak ada mutasi (flu Spanyol). Untuk covid, kalau mutasi itu alami, harusnya menjadi lebih lemah, bukan lebih ganas,” kata Siti Fadilah Supari dalam keterangannya secara daring, dikutip saluran Youtube, Selasa (6/7/2021).
Siti Fadilah soal virus covid
Ketika ditanya apakah artinya ini merupakan virus buatan, Siti Fadilah tak membantahnya. Tetapi tidak juga membenarkannya. Sebab tentu dibutuhkan data dan penelitian yang panjang terlebih dahulu untuk membuktikan kebenaran.
Baca Juga: Menkes Sebut Tujuh Provinsi Rawan Serangan Covid-19 Varian Delta, Termasuk di Kaltim
“Yang pasti kalau mutasi alami tidak akan lebih ganas. Sebab mutasi itu hanya proses adaptasi dari virus untuk menempel pada inangnya. Dan inangnya itu adalah kita (manusia),” kata dia.
Siti Fadilah Supari kemudian juga menyinggung soal keberhasilan Amerika Serikat, di mana para warganya mulai perlahan membuka masker.
Dia mengatakan, belum bisa dipastikan apakah ini terkait penggunaan vaksin yang lebih ampuh dari yang digunakan orang Indonesia. Atau karena kebiasaan masyarakatnya yang lebih mudah untuk dikontrol.
Sebab seperti diketahui, warga Amerika banyak yang menggunakan vaksin jenis Phyzer, sementara di Indonesia Sinovac di awal digunakan cukup banyak.
“Kalau soal itu saya belum berani komentar. Bisa jadi, tetapi bisa juga karena Amerika menghentikan tracingnya. Jadi kalau ada yang sakit tinggal diarahkan ke rumah sakit. Kan masyarakat di sana kesadarannya sudah tinggi. Mereka kan jenuh juga diatur-atur pemerintah untuk pakai masker,” kata Siti.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Bedak Viva Terbaik untuk Tutupi Flek Hitam, Harga Mulai Rp20 Ribuan
- 25 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 1 November: Ada Rank Up dan Pemain 111-113
- Mulai Hari Ini! Sembako dan Minyak Goreng Diskon hingga 25 Persen di Super Indo
- 7 Rekomendasi Mobil Bekas Sekelas Brio untuk Keluarga Kecil
- 7 Mobil Bekas Favorit 2025: Tangguh, Irit dan Paling Dicari Keluarga Indonesia
Pilihan
-
Harga Emas Hari Ini di Pegadaian Kompak Stagnan, Tapi Antam Masih Belum Tersedia
-
Jokowi Takziah Wafatnya PB XIII, Ungkap Pesan Ini untuk Keluarga
-
Nasib Sial Mees Hilgers: Dihukum Tak Main, Kini Cedera Parah dan Absen Panjang
-
5 HP dengan Kamera Beresolusi Tinggi Paling Murah, Foto Jernih Minimal 50 MP
-
Terungkap! Ini Lokasi Pemakaman Raja Keraton Solo PB XIII Hangabehi
Terkini
-
Jokowi Takziah Wafatnya PB XIII, Ungkap Pesan Ini untuk Keluarga
-
Wapres Gibran Takziah Wafatnya PB XIII, Ini Harapan Keluarga Keraron Solo
-
Kereta Jenazah PB XIII Dipersiapkan dan Dibersihkan, Ini Bentuknya
-
Gusti Moeng Akui Sempat Dapat Pertanda Sebelum PB XIII Wafat
-
Jenazah PB XIII Hangabehi Dimakamkan Rabu, Transit di Lodji Gandrung