SuaraSurakarta.id - Mendekati perayaan Imlek, sekitar 4.000 lampion biasanya terpasang di sepanjang Jalan Jendral Sudirman yang berada tepat di depan Pasar Gede Hardjonagoro, Kota Solo.
Lampion itu terbentang dari pasar sisi barat ke timur, berada di atas jalan sepanjang kurang lebih 250 meter hingga membuat jalan depan pasar itu menjadi terowongan lampion.
Namun itu adalah cerita tahun lalu, jalan depan Pasar Gedhe hari ini tak bersolek dipenuhi simbol-simbol perayaan imlek. Tak ada seuatu yang spesial meski Imlekan sudah kurang dari dua minggu.
Yang ada hanya aktivitas keseharian yang biasa terjadi di pasar. Pembeli keluar masuk pasar, kuli angkut yang membawa barang dengan selendangnya dan tukang becak yang sedang menunggu langganannya.
Berjalan ke arah selatan menuju Jalan RE. Martadinata sebuah tempat ibadah masyarakat Tionghoa berdiri kokoh sejak 1748.
Bentuk bangunannya tak berubah, tetap dipertahankan sesuai dengan bentuk saat pertama kali dibangun. Pengurus hanya rutin melakukan cat ulang pada dinding-dinding dan ukiran-ukiran 3D mendekati perayaan Imlek.
“Bangunan ini belum pernah direnovasi, jika ada bagian yang mengelupas dan kotor serta tidak bisa dibersihkan kita cat ulang,” kata Ketua Kelenteng Tien Kok Sie, Sumantri Dana Waluya saat berbincang dengan SuaraSurakarta.id.
Tertulis Kelenteng Tien Kwok Sie pada papan nama yang menghadap ke timur ketika para pengunjung hendak masuk. Kelenteng yang tahun ini hanya menggelar akan ibadah rutin Imlek secara internal itu mulai dibangun tahun 1745 atau berselang setahun setelah dimulainya pembangunan Keraton Kasunanan Surakarta.
Sumantri mengklaim, Kelenteng Tien Kwok Sie adalah tempat ibadah tertua yang ada di Kota Surakarta. “Tahun itu Pasar Gedhe belum ada dan boleh dibilang tempat ibadah paling tua yakni kelenteng ini, Gereja Purbayan sendiri baru berdiri tahun 1916,” paparnya.
Baca Juga: Jelang Imlek, Pedagang Pohon Jeruk Kim Kit Mulai Berjualan
Banjir Bandang
Masa peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, tepatnya 13 Maret 1966, banjir bandang menggulung Kota Surakarta.
Tugu jam Pasar Gedhe hanya terlihat oleh dua pasang mata setinggi 20 cm, sedangkan kelenteng rusak parah dan kehilangan seluruh dokumen-dokumen penting.
“Itu adalah kejadian paling kelam yang pernah kami alami. Semua dokumen musnah dan untuk kembali membuat dokumen-dokumen itu tdak mudah,” ungkap Sumantri.
Dinamika peribadatan masyarakat Tionghoa di Surakarta terus berlanjut di Era Orde Baru. Isu penutupan kelenteng santer terdengar membuat para umat Budha, Konghuchu dan Tao biasa yang datang untuk beribadah menjadi takut dan sering beralasan yang cenderung bersifat politis.
Tahun 1998, saat Solo menjadi salah satu kota yang disorot karena adanya pergolakan politik nasional sehingga menyebebkan kerusuhan terjadi hamper di seluruh Indonesia, Kelenteng Tien Kwok Sie tak mengalami gangguan apapun.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 7 Rekomendasi HP RAM 12GB Rp2 Jutaan untuk Multitasking dan Streaming
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
Terkini
-
Drama Keraton Surakarta Memanas Lagi, Aksi Bongkar Gembok Pintu Keraton Coreng Kunjungan Pemerintah
-
Usai Temui Jokowi, Ratusan Relawan Semut Ireng Langsung Gabung ke PSI?
-
Kubu PB XIV Purboyo Ganti Semua Pintu Gembok di Keraton Solo, Pekerja Revitalisasi Diminta Keluar
-
Penjelasan Resmi Rosalia Indah Terkait Video Viral Pengemudi: Sanksi Tegas Telah Ditetapkan
-
Gagal Ganti Nama di KTP, Upaya Raja Keraton Solo PB XIV Terganjal Potensi Sengketa