
Setelah itu, seluruh penduduk setempat akan mengadakan doa di Masjid Agung Surakarta dengan membawa Hajad Dalem Tumpeng Sewu (seribu tumpeng) sebagai simbol malam seribu bulan.
Dahulu, setiap Malam Selikuran, halaman depan Masjid Agung akan dipenuhi masyarakat seperti pasar malam.
Namun, karena Keraton Surakarta sudah memiliki pasar malam sendiri saat Sekaten, maka Pakubuwana X memindahkan Malam Selikuran ke Taman Sriwedari.
Karena itu, hingga saat ini, tradisi tersebut dilakukan di Taman Sriwedari.
Baca Juga:Ramadan Booyah! Keseruan Turnamen Free Fire di Solo Techonpark, Ratusan Player Ikut Serta
Meski begitu, tradisi ini sempat berhenti pada masa Pakubuwana XII bertahta. Namun, saat HR Hartono menjadi Wali Kota Surakarta, tradisi Malam Selikuran kembali dilaksanakan.
Terlepas dari hal itu, konon tradisi Malam Selikuran ini sudah ada sejak zaman Wali Songo, yakni Sing Linuwih Ing Tafakur yang artinya giat mendekatkan diri kepada Allah pada malam-malam terakhir bulan Ramadan.
Hal itu kemudian disesuaikan dengan budaya Jawa hingga muncullah tradisi Malam Selikuran.
Selain itu, tradisi Malam Selikuran ini juga ada kaitannya dengan petuah yang ditulis oleh Pakubuwana IV dalam salah satu karyanya, yakni Serat Wulangreh dalam tembang Dhandhanggula.
Secara harfiah, Serat Wulangreh tersebut berisi pengajaran dan perintah yang ingin mengungkap kedalaman makna Al-Quran.
Baca Juga:Sejarah Panjang Bubur Samin, Takjil Legendaris Ramadan di Solo
Kontributor : Ari Welianto