SuaraSurakarta.id - Surakarta atau yang lebih dikenal sebagai Solo adalah kota yang kaya akan budaya dan sejarah.
Sebagai salah satu pusat peradaban Jawa, Solo juga menjadi saksi harmonisasi budaya antara berbagai etnis, termasuk Tionghoa.
Etnis Tionghoa telah menjadi bagian integral dari masyarakat Solo selama berabad-abad, dengan kontribusi yang signifikan dalam berbagai bidang, mulai dari seni, tradisi, hingga aktivitas sosial.
Jejak budaya Tionghoa di Solo dapat dilihat dalam arsitektur, kuliner, hingga perayaan adat yang menggambarkan akulturasi unik antara budaya Jawa dan Tionghoa.
Baca Juga:Makan Bergizi Gratis Mulai Berlangsung di Solo, Ini Kata Teguh Prakosa
Di balik semua itu, terdapat tokoh-tokoh keturunan Tionghoa yang berperan besar dalam membangun dan melestarikan kekayaan budaya Solo.
Bertepatan dengan momen Imlek 2025, mari belajar sejarah dengan mempelajari lima tokoh keturunan Tionghoa yang telah memberikan dampak besar bagi kota ini.
1. Yap Tjwan Bing (1910–1988)
Yap Tjwan Bing adalah seorang intelektual dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang lahir di Solo pada 31 Oktober 1910. Ia berasal dari keluarga keturunan Tionghoa yang peduli terhadap pendidikan dan kemerdekaan bangsa.
Yap Tjwan Bing aktif dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam peranannya, ia mendorong integrasi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk etnis Tionghoa, ke dalam bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Setelah kemerdekaan, namanya dikenang sebagai simbol kontribusi etnis Tionghoa dalam perjuangan bangsa. Di Solo, Yap Tjwan Bing diabadikan sebagai nama jalan, mengingatkan masyarakat akan jasa-jasanya sebagai tokoh nasional.
Baca Juga:Simpang Joglo Solo Resmi Dibuka: 5 Fakta Menarik yang Wajib Ketahui
2. Go Tik Swan (K.R.T. Hardjonagoro, 1931–2008)
Go Tik Swan adalah seorang maestro batik Indonesia yang lahir di Solo dari keluarga keturunan Tionghoa. Ia dikenal sebagai pelopor batik modern dengan sentuhan tradisional. Kecintaannya pada batik bermula ketika Presiden Soekarno memintanya menciptakan motif batik yang dapat menjadi identitas Indonesia.
Go Tik Swan menggali inspirasi dari kebudayaan Jawa, termasuk mendalami filsafat di keraton Surakarta dan belajar sejarah batik hingga ke makam Sunan Kalijaga. Hasil karyanya dikenal sebagai Batik Indonesia yang menggabungkan motif klasik dengan inovasi modern. Go Tik Swan juga diberi gelar kehormatan K.R.T. Hardjonagoro oleh Keraton Surakarta atas jasanya melestarikan seni batik sebagai warisan budaya bangsa.
3. Be Kwat Koen (1883–1941)
Be Kwat Koen adalah seorang tokoh masyarakat dan mayor Tionghoa di Surakarta yang menjabat pada awal abad ke-20. Sebagai mayor, Be Kwat Koen memiliki hubungan yang erat dengan Keraton Surakarta, sehingga sering menjadi perantara dalam interaksi budaya antara etnis Tionghoa dan masyarakat Jawa.
Ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang bijaksana, adil, dan berwawasan luas. Perannya dalam mempererat hubungan komunitas Tionghoa dan keraton menjadikannya tokoh yang dihormati di Surakarta. Jejak sejarah Be Kwat Koen masih bisa dirasakan melalui cerita-cerita lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.
4. Oei Bengki
Oei Bengki adalah tokoh penting di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Solo. Ia dikenal sebagai perintis tradisi Grebeg Sudiro, sebuah acara yang menggabungkan unsur budaya Tionghoa dan Jawa. Acara ini dimulai pada tahun 2007 sebagai bentuk perayaan Imlek yang mengadopsi konsep grebeg tradisional Jawa.
Grebeg Sudiro menampilkan prosesi kirab, pertunjukan seni, dan pembagian kue keranjang, yang menjadi simbol harmoni budaya di Solo. Oei Bengki bekerja keras untuk memastikan bahwa tradisi ini terus dilestarikan sebagai bentuk akulturasi budaya. Grebeg Sudiro kini menjadi salah satu acara budaya utama di Solo, menarik wisatawan lokal dan mancanegara.
5. Sumartono Hadinoto
Sumartono Hadinoto adalah seorang filantropis dan aktivis budaya yang lahir dan besar di Solo. Sebagai keturunan Tionghoa, ia aktif dalam berbagai kegiatan sosial, termasuk mengembangkan seni dan budaya lokal. Salah satu kontribusi utamanya adalah mendukung pelestarian wayang orang, sebuah seni pertunjukan tradisional Jawa yang mulai kehilangan pamor.
Sumartono juga dikenal karena perannya dalam berbagai kegiatan kemanusiaan, seperti membantu korban bencana alam dan mempererat hubungan antar-etnis di Solo. Kepeduliannya terhadap pelestarian budaya menjadikan Sumartono sebagai inspirasi bagi generasi muda di Solo untuk menjaga dan menghormati warisan budaya mereka.
Kelima tokoh ini tidak hanya mewakili kontribusi keturunan Tionghoa terhadap Surakarta, tetapi juga menunjukkan bagaimana nilai-nilai budaya dapat menjadi jembatan yang mempererat persatuan masyarakat. Kontribusi mereka akan terus dikenang sebagai bagian dari sejarah dan kekayaan budaya Indonesia.
Kontributor : Dinar Oktarini