Sejarah Panjang Klenteng Tien Kok Sie Solo: Dibangun 1745, Lewati Berbagai Zaman, Pernah Kebanjiran Tahun 1966

Klenteng Tien Kok Sie yang berada di Jalan RE Martadinata, Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Solo.

Ronald Seger Prabowo
Minggu, 15 Januari 2023 | 17:31 WIB
Sejarah Panjang Klenteng Tien Kok Sie Solo: Dibangun 1745, Lewati Berbagai Zaman, Pernah Kebanjiran Tahun 1966
Klenteng Tien Kok Sie Solo. (Suara.com/Ari Welianto)

SuaraSurakarta.id - Klenteng Tien Kok Sie merupakan salah satu klenteng yang ada di Kota Solo.

Klenteng Tien Kok Sie yang berada di Jalan RE Martadinata, Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Solo atau sebelah selatan Pasar Gede ini memiliki sejarah panjang.

Bahkan mengalami berbagai jaman, mulai sebelum dan sesudah kemerdekan, masa orde lama (orla), orde baru (orba) hingga reformasi. 

Klenteng Tien Kok Sie ini dibangun tahun 1745. Ini dibangun oleh sekelompok pengusaha Tionghoa yang ada di Solo waktu itu.

Baca Juga:Kumpulan Kata-Kata Kartu Ucapan Imlek 2023 dan Cara Membuatnya, Gratis!

Klenteng ini dibangun di tanah yang dikasih oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Untuk bangunannya itu akulturasi Jawa dan Tionghoa.

Klenteng Tien Kok Sie ini dipakai untuk tempat ibadah tiga agama, yakni Konghucu, Budha, dan Taoisme. Sehingga memiliki nama lain Vihara Avalokhiteswara yang berati tempat ibadah Tri Dharma.

"Dibangun tahun 1745. Ini dibangun untuk mewadahi orang-orang Tionghoa yang ingin beribadah, karena sebelum klenteng mereka beribadah di rumah masing-masing," ujar Ketua Yayasan Klenteng Tien Kok Sie Solo, Sumantri Dana Waluya, Minggu (15/1/2023).

Selain untuk tempat ibadah, dulu klenteng juga sebagai tempat sosialisasi. Dulu orang-orang selalu mampir ke klenteng, berdoa terus silahturahmi atau saling ngobrol, kan dulu belum ada media sosial (medsos) atau televisi.

"Dulu juga sebagai tempat sosialisasi, setelah beribadah mereka berkumpul saling ngobrol. Misalnya, orang punya kerja atau orang kesripahan (ada yang meninggal), jadi orang-orang akan tahu," katanya.

Baca Juga:5 Kegiatan Seru untuk Rayakan Imlek 2023 Bersama Teman dan Keluarga

Dari awal berdiri hingga sekarang bentuk klenteng masih asli tidak ada perubahan. Sejauh ini tidak ada pemugaran hanya perbaikan kecil-kecil saja, seperti dicat ulang dan itu dilakukan hampir setiap hari atau menjelang perayaan Imlek.

"Semua masih asli. Belum pernah ada pemugaran, paling hanya pengecatan ulang saja," sambung dia.

Sumantri menjelaskan, jika Klenteng Tien Kok Sie ini pastinya sudah melewati berbagai zaman dari awal berdiri hingga sekarang.

Dulu zaman Belanda relatif tidak ada permasalahan, terus pada masa kemerdekaan juga tidak ada masalah dan berjalan normal.

Pada masa pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta tidak ada masalah juga. Bahkan tanah yang dibangun klenteng ini dari keraton. 

"Klenteng ini barang tentu sudah melewati berbagai zaman," ucapnya.

Tenggelam Banjir 1966

Pada 15 Maret 1966 di Kota Solo terjadi banjir besar. Klenteng Tien Kok Sie ikut tenggelam. 

Meski tenggelam, tapi Kimsin atau para suci yang diwujudkan (visualisasikan) tidak ada yang hanyut atau hilang. Hanya surat-surat yang semuanya hilang dan itu yang membuat sangat hilang. 

"Kalau ada yang cerita klenteng tidak tenggelam saat banjir besar tahun 1966, itu tidak benar. Siapa yang bisa melawan alam tidak bisa, tugu jam depan Pasar Gede cuma menyisakan beberapa sentimeter saja. Kebetulan rumah saya tidak jauh dari klenteng," sambung dia.

Masa Orde Baru (Orba)

Pada masa orde baru yang menyedihkan bagi umat konghucu. Namun, meski ada kerusuhan masa itu, klenteng tetap aman.

Dulu pernah ada aturan jika tempat ibadah dan yang dituju adalah agama konghucu. Karena dulu ada persepsi agama konghucu itu 99 persen orang Tionghoa dan tidak boleh melakukan ibadah secara umum di Klenteng.

"Makanya dulu orang konghucu sembahyang dan berdoa di rumah. Waktu itu klenteng diminta untuk ditutup, itu sekitar tahun 1970 an," paparnya.

Waktu itu pengurus klenteng dipanggil dan papan nama dengan tulisan Tionghoa yang ada di atas pintu masuk diminta diturunkan. Lalu klenteng diminta untuk ditutup.

"Lalu pengurus bilang  'mohon maaf, kita ini mendapat amanah kepercayaan dari para leluhur. Jadi kalau saya diminta menurunkan itu atau menutup klenteng ini, saya tidak berani'. 'Tapi kalau bapak mau menurunkan dan menutup, silahkan'," cerita dia.

Dulu segala kebudayaan dan kesenian juga sangat dibatasi. Pernah klub barongsai mau main di PMS didatangi dan dimaki-maki. 

"Setelah sekarang boleh main lagi, saya kalau melihat barongsai nangis. Dulu kebudayaan dan kesenian dibatasi," terangnya.

Mantri, sapaan akrabnya mengatakan untuk menyiasati saat klenteng diminta ditutup. Maka banyak klenteng-klenteng yang namanya dirubah menjadi vihara, sehingga banyak yang menyebut klenteng sebagai vihara.

"Jadi ada permasalahan mau ditutup, untuk menyiasati itu. Banyak klenteng-klenteng yang namanya dirubah jadi vihara," ucap dia.

Pada peristiwa 1998 dan terjadi kerusuhan. Para pengemudi becak, buruh dan orang-orang sekitar itu menghadang serta menghalau saat mau ada yang masuk ke klenteng.

"Jadi kerusuhan-kerusuhan yang beberapa kali terjadi itu aman. Itu karena kita selalu berinteraksi dengan orang-orang sekitar sini," jelas dia.

Mulai ada kebebasan itu, lanjut dia, pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur). Sebenarnya saah pemerintahan Presiden BJ Habibie sudah memberikan hak-hak sipil dan yang lainya.

Namun, yang benar-benar bebas itu di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jadi sekarang aturan-aturan sudah sangat  mudah buat kaum konghucu.

"Jadi sekarang tradisi sembahyang di klenteng, main barongsai dan lion atau tradisi yang lain sudah boleh sebebas-bebasnya," tandasnya.

Kontributor : Ari Welianto

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini