Ketergantungan Kedelai Impor di Tanah Subur Indonesia, Pakar Pertanian: Kita Harus Mencari Alternatif

Indonesia memiliki ketergantungan kedelai impor yang berdampak menipisnya ukuran tahu dan tempe

Budi Arista Romadhoni
Rabu, 02 Maret 2022 | 06:15 WIB
Ketergantungan Kedelai Impor di Tanah Subur Indonesia, Pakar Pertanian: Kita Harus Mencari Alternatif
Kedelai impor dari Amerika yang selama ini mendominasi pasaran. Padahal, kualitas kedelai dari Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, juga bersaing. [ANTARA/Akhmad Nazaruddin Lathif.]

SuaraSurakarta.id - Indonesia memang dikenal dengan makanan olahan dengan kedelai. Tahu dan tempe menjadi makanan sehari-hari. 

Namun demikian, yang menjadi masalah makanan olahan khas Indonesia itu berbahan baku dari kedelai impor. Sementara kedelai lokal tak mencukupi kebutuhan masyarakat. 

Pengamat Pertanian dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Mercy Bientri Yunindanova menyebut Indonesia perlu memikirkan alternatif pengganti kedelai menyusul terjadinya kenaikan harga pada komoditas tersebut.

"Kita harus mencari alternatif, budi daya tidak bisa 100 persen mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri karena membutuhkan sistem budidaya lebih terpadu, seragam, dan manajemen yang baik," kata Dosen Agroteknologi Fakultas Pertanian UNS dikutip dari ANTARA di Solo, Jawa Tengah, Selasa (1/3/2022).

Baca Juga:Pasar Lesu, Pengusaha Tahu di Kediri Putuskan Libur Produksi Gegara Melejitnya Harga Kedelai

Dengan demikian, kata dia, perlu ada proses diversifikasi pangan sumber protein dengan penggunaan alternatif biji-bijian lain sebagai bahan baku yang mengandung protein mendekati kedelai.

"Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman tanaman biji-bijian dan telah terbukti dapat diolah menjadi olahan tempe. Sebetulnya tidak perlu khawatir karena banyak kearifan lokal tentang tempe," katanya.

Bahkan, dikatakannya, saat ini ilmu teknologi pangan sudah melakukan penelitian mengenai pemanfaatan biji selain kedelai untuk bahan pangan kaya protein seperti tempe.

"Memang pengenalannya kepada masyarakat belum masif, harus secara gradual (bertahap) mengubah mindset bahwa tahu dan tempe tidak hanya berbahan dasar kedelai. Protein itu bisa diperoleh dari bahan makanan yang lain, bahkan diversifikasi pangan dalam artian makan dalam berbagai jenis itu lebih baik," katanya.

Sementara itu, dikatakannya, sebagai negara yang mengandalkan impor kenaikan harga kedelai seharusnya menjadi momentum.

Baca Juga:Tempe dan Tahu Hilang di Pasaran, Minyak Goreng Langka, Warga Bekasi Kini Hadapi Kenaikan Harga Daging Sapi

"Karena makin ke depan harga kedelai akan makin naik dengan permintaan kedelai dunia yang tinggi karena makin diminati di pasar dunia," katanya.

Ia mengatakan permintaan kedelai dunia tinggi karena ada empat faktor yaitu untuk pemanfaatan energi biodiesel, pemanfaatan kedelai sebagai pakan ternak, konsumsi dalam jumlah tinggi seperti di China dan Amerika, serta plant based meat atau produk daging berbasis tanaman yang sedang tren.

Mengenai pengembangan pertanian kedelai di Indonesia selama ini, dikatakannya, dari sisi kualitas dan kuantitas lebih rendah dibandingkan negara produsen lain.

"Ini karena mayoritas petani di Indonesia menanam secara sendiri-sendiri, berbeda tempat dengan lahan yang kecil, dan tidak dikelola dalam satu sistem yang sama sehingga hasil panennya kurang seragam. Meskipun ada yang telah dikoordinir oleh gapoktan (gabungan kelompok tani), namun variasi kualitas dan kuantitas masih rendah," katanya.

Ia mengatakan produktivitas kedelai di Indonesia cukup rendah, yakni sekitar 1,5 ton/hektar dan maksimum 1,6 ton/hektare di Jawa.

"Jika dibandingkan dengan Brazil dan Amerika sebagai leader produsen kedelai produksinya mencapai 3,5 ton per hektare," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak