SuaraSurakarta.id - Masyarakat Kota Solo memiliki tradisi minum teh setiap harinya. Teh yang diminum pun memiliki ciri khas yang unik.
Namun diketahui, tradisi ngeteh di Kota Solo, ternyata bukan kultur asli, tetapi konon merupakan warisan para elite Belanda di masa kolonial.
Meskipun sebenarnya acara minum teh tidak lazim dilakoni bangsa Belanda, karena di negara mereka kopi lebih populer. Sementara minum teh merupakan tradisi bangsa Inggris.
Menyadur dari Solopos.com, potongan-potongan sejarah menguak fakta bahwa kultur ngeteh di Jawa dipengaruhi oleh para bangsawan Belanda.
Baca Juga:Bima Arya Intens Bertemu Gibran, Tanggapi Begini saat Disinggung soal DKI 1
Hal itu diketahui dari kesaksian masyarakat pesisir Jawa yang blak-blakan mengaku mengikuti tata cara masyarakat kolonial Belanda dalam hal minum teh, seperti dilakukan keluarga Kartini.
Catatan ini ditulis oleh Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta menyebutkan Teh biasa disajikan dalam poci yang disandingkan dengan gula, susu, serta kudapan lokal maupun kue tradisional Belanda.
Penulis Sejarah Wisata Kuliner Solo itu juga mengatakan teh selalu disajikan di setiap acara jamuan makan keluarga bangsawan dalam tradisi kerajaan Jawa, seperti dilakukan di Kadipaten Mangkunegaran.
Paku Buwana X tercatat pernah beberapa kali menjamu Raja Siam dari Negeri Gajah Putih (Thailand) dengan secangkir teh dengan cara yang amat santun.
Seiring dengan perkembangan zaman, budaya ngeteh yang semula hidup di bilik rumah aristokrat, akhirnya tersebar dan berkembang di lingkungan masyarakat luas. Kini teh bisa dinikmati hampir semua orang dalam berbagai golongan maupun kelas sosial.
Baca Juga:Pemerintah Batalkan PPKM Level 3, Gibran: Pada Intinya Tak Ingin Menyulitkan Warga
Budaya minum teh sejak zaman kerajaan itu sampai saat ini terus dilestarikan dan menjadi kearifan lokal kultur masyarakat di Kota Solo, Jawa Tengah. Meskipun jika dilihat dari bentang alamnya, Kota Solo tidak memiliki perkebunan teh karena berada di dataran rendah.
Tetapi jangan salah, Heri menyatakan bangsawan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di masa lalu pernah memiliki perkebunan teh di Ngampel, Boyolali. Budidaya tanaman teh yang dijajal kaum aristokrat itu diberi nama Madusita. Fakta itu terekam dalam Serat Biwadha Nata. Madusita terdiri dari dua kata yang sarat makna, yaitu madu (manis), sita (hati/dingin).
Madusita juga dijadikan nama pesanggrahan untuk raja beristirahat. Istilah Madusita ini bermakna Sinuhun Paku Buwana merasa hatinya tentram dan manis seperti madu saat berkunjung ke pesanggrahan yang berada di sekitar perkebunan teh.
Wilayah Ampel, Boyolali, dipilih sebagai lokasi perkebunan karena berada di dataran tinggi dengan iklim tropis yang tanahnya subur. Namun sampai saat ini belum terlacak titik sebaran hasil panen teh yang digarap Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat itu.
Kisah yang disampaikan Heri Priyatmoko itu membuktikan bahwa Keraton Solo memiliki peranan dalam mengembangkan usaha perkebunan teh dan membentuk budaya ngeteh di tanah Jawa. Hingga saat ini teh menjadi komoditas yang dijual di berbagai tempat, mulai dari angkringan pinggir jalan hingga restoran mewah kelas satu.
Guna memperkuat kultur ngeteh, pada Oktober 2012 silam sempat digelar Festival Teh Internasional di Kota Solo. Acara tersebut digelar di sepanjang koridor Ngarsapura yang menghadirkan 1.000-an penjual teh. Kota Solo dipilih sebagai tuan rumah Festival Teh Internasional pertama karena dianggap sebagai etalase teh di Indonesia.
Sampai saat ini teh menjadi salah satu ikon kuliner di Kota Solo yang sangat populer. Tiap angkringan di Kota Solo memiliki resep dan cara meracik teh yang berbeda. Bahkan budaya mencampur atau mengoplos teh diklaim hanya ada di Kota Solo.