Kisah Masjid Laweyan, Tertua di Solo yang Dulu Tempat Peribadat Umat Hindu

Masjid Laweyan menjadi sejarah perjalanan umat islam di Kota Solo

Budi Arista Romadhoni
Minggu, 25 April 2021 | 13:57 WIB
Kisah Masjid Laweyan, Tertua di Solo yang Dulu Tempat Peribadat Umat Hindu
Masjid Laweyan Solo [Suara.com/Ari Welianto]

SuaraSurakarta.id - Masjid Laweyan merupakan salah satu masjid kuno di Kota Solo. Bahkan bisa dikatakan sebagai masjid tertua yang ada di kota bengawan.

Masjid Laweyan ini dibangun pada masa Kerajaan Pajang sekitar abad ke-16 sekitar tahun 1546 ini. Masjid yang berada di Jalan Iris Nomor 1 RT 04 RW 04 Kelurahan Pajang Kecamatan Laweyan Solo dikenal juga Masjid Ki Ageng Henis.

Karena masjid ini didirikan oleh Ki Ageng Henis yang merupakan trah dari Raja Kerajaan Majapahit terakhir, Brawijaya V.  Dulu Ki Ageng Henis bukan pemeluk Islam, tapi karena berhubungan baik dengan Sunan Kalijaga, kemudian memeluk agama Islam.

Ki Ageng Henis merupakan seorang patih di Kerajaan Pajang. Saat itu dipimpin oleh Joko Tingkir yang gelarnya Sultan Hadi wijaya.

Baca Juga:Terbukti Langgar Prokes, Pemkot Solo Layangkan Tiga SP Restoran dan Hotel

"Masjid ini dibangun abad ke-16 sekitar tahun 1546 pada masa Kerajaan Pajang. Ini masjid tertua di Kota Solo," ujar Takmir Masjid Laweyan Solo, Rofiq, Minggu (25/4/2021).

Masjid Laweyan ini, awalan merupakan tempat peribadatan umat Hindu-Buddha yang dikelola Ki Beluk. Ki Ageng Beluk adalah seorang lurah di daerah sini yang beragama Hindu. 

Dulu daerah sini penduduknya beragama Hindu. Pada waktu itu  Ki Ageng Henis diutus oleh Raden Patah untuk berdakwah menyebarkan agama Islam di daerah sini. 

Saat berdakwah, Ki Ageng Henis melakukan pendekatan kepada Ki Ageng Beluk yang akhirnya masuk agama Islam. Setelah masuk agama Islam, Ki Ageng Beluk mewakafkan tempat peribadatan ini untuk menjadi mushola. 

Saat Ki Ageng Henis meninggal dimakamkan di sekitar masjid dan sering dikunjungi warga.  

Baca Juga:Belum Ada Perda, Pemkot Solo Tidak Bisa Menindak Perdagangan Daging Anjing

"Menurut cerita memang dulu ini tempat peribadatan umat Hindu. Jadi jauh sebelum Ki Ageng Henis datang atau agama Islam ada sudah ada pemukiman penduduk dan tempat peribadatan," terang dia. 

Meski digunakan sebagai masjid, bentuk bangunan tidak diubah. Pada masa Paku Buwono X, bangunan lalu direnovasi total menjadi bentuk yang sekarang ini.

Diresmikan sebagai masjid itu pada masa Raja Keraton Kasunanan Surakarta, Paku Buwono (PB) X yang berbarengan dengan Masjid Agung Surakarta.

Untuk bangunan bangunan masjid asli, ada bagian serambi dan bagian utama untuk shalat. Cagak atau tiang masjid juga masih asli dan ada 12 tiang, kalau atap pada zaman PB X. 

Soko atau tiang kayu bangunan masjid merupakan tiang bekas dari Keraton Kartasura yang hancur akibat peristiwa geger pecinan. Karena hancur kemudian PV II memindahkan kekuasaannya ke Desa Sala dan menjadi Keraton Kasunanan Surakarta.

"Soko yang dibawa kemudian dipakai untuk membangun Masjid Agung. Pada masa PB X Masjid Agung juga direnovasi," kata dia.

Kayu yang digunakan sebagai soko Masjid Agung kemudian dipindahkan ke Masjid Laweyan. Hingga saat ini masih kokoh untuk menopang bangunan masjid. 

Masjid Laweyan terletak di tepi Sungai Jenes yang ada di kawasan Kampung Batik Laweyan. Sungai yang mengalir tersebut bukanlah sembarang sungai.

Dulu sungai tersebut pernah menjadi jalur perdagangan yang menghubungkan daerah-daerah di Pulau Jawa. Karena letaknya berada pada jalur perdagangan membuat kawasan tersebut menjadi pusat keramaian yang disebut Bandar Kabanaran.

Kawasan tersebut semakin berkembang, apalagi banyak muncul saudagar batik dari Laweyan. Batik sudah dikenal sejak masa Kerajaan Majapahit.

Majapahit yang dekat dengan negara Tiongkok dan Thailand, mengembangkan budaya tekstil.

Kontributor: Ari Welianto

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini