- Yoedo Prawiro, agen polisi rahasia di Vorstenlanden (1889), berkolusi menjual barang curian.
- Setelah menjalani hukuman lima tahun kerja paksa, Prawiro diangkat kembali sebagai mata-mata.
- Pengkhianatan salah satu kaki tangan memicu gelombang perampokan baru.
SuaraSurakarta.id - Sejarah sering kali berulang, namun terkadang sejarah juga menyajikan lelucon gelap yang sulit dinalar akal sehat.
Sebuah laporan yang terdengar lucu, tapi nyata, pernah mengguncang wilayah Vorstenlanden, sebutan untuk wilayah kerajaan Surakarta dan Yogyakarta pada akhir abad ke-19.
Ini adalah kisah tentang penegak hukum yang justru menjadi pelanggar hukum paling licin.
Kisah seorang polisi yang tertangkap dan dijatuhi hukuman oleh kepolisian setelah dinyatakan bersalah karena menadah barang curian.
Tokoh utama dalam dagelan hukum masa kolonial ini adalah Yoedo Prawiro.
Namanya abadi dalam catatan kelam yang ditulis oleh Redaksi surat kabar Soerabaijasch Handelsblad, bertarikh Vrijdag (Jumat), 13 September 1889.
Laporan reportase berjudul Het Ketjoe-wezen in de Vorstenlanden (Peristiwa Ketjoe di Tanah Kerajaan) itu bermula dengan premis yang sebenarnya mulia.
Dikisahkan bahwa pada saat Raden Mas Tumenggung Mangoen Koesoemo diangkat sebagai administratur nasional sekaligus bupati Klaten, ia membutuhkan "mata" dan "telinga" di lapangan.
Ia menunjuk Yoedo Prawiro sebagai agen polisi rahasia yang bertugas sebagai telik sandi.
Baca Juga: 4 Link DANA Kaget Spesial Warga Solo, Rejeki Nomplok hingga Rp149 Ribu
Tugas utamanya terdengar gagah: mengungkap pesta-pesta kecu atau para maling, yang meresahkan banyak warga.
Pada masa itu, orang kaya di sepanjang Vorstenlanden atau Klaten kerap kali menjadi mangsa empuk para kecu.
Yoedo Prawiro yang diberi tugas sebagai mata-mata sebagai agen polisi rahasia pada saat Raden Mas Tumenggung Mangoen Koesoemo menjabat, justru melihat "peluang bisnis" di balik lencananya.
Alih-alih memberantas kejahatan, ia malah memanajemennya. Sekali waktu, ia berhasil menemukan sebuah pesta para kecu.
Namun, bukannya melapor ke atasan untuk penyergapan, ia justru tergiur dengan kilau harta hasil jarahan.
Yoedo Prawiro menuruti akal bulusnya dengan memilih berkolusi dengan para maling. Sebuah simbiosis parasitisme pun terjalin: tiap kali para maling berhasil mencuri sejumlah barang berharga dari para orang-orang kaya, segera saja mereka memberikannya pada sang polisi rahasia.
Modus Operandi: Jual, Tangkap, Peras
Kecerdikan—atau lebih tepatnya kelicikan—Yoedo terletak pada siklus kejahatannya yang rapi.
Setelah mengumpulkan sejumlah barang curian, Yoedo Prawiro lantas menjual semua barang-barang hasil curian itu kepada pribumi atau bangsawan Jawa yang tinggal di Yogyakarta.
Target pasarnya cerdas: orang kaya di Jogja yang tak cukup dikenal di Klaten, sehingga meminimalkan kecurigaan awal. Ia menjualnya dengan harga yang sangat murah, membuat siapa pun akan tergiur.
Di sinilah plot twist terjadi. Lantas, ketika barang itu telah dijual kepada seorang kaya di Yogyakarta, Yoedo Prawiro melaporkan sejumlah barang hasil curian di rumah milik pembeli malang itu.
Layaknya pahlawan kesiangan, ia memimpin informasi tersebut agar para polisi langsung melakukan penggeledahan dan menangkap pembeli barang itu.
Sang pembeli yang tidak tahu apa-apa, tiba-tiba mendapati dirinya di balik jeruji besi sebagai penadah.
Bagian paling liciknya, Yoedo Prawiro kembali muncul bak dewa penolong. Ia memutuskan untuk membebaskan korbannya itu dengan membayar sejumlah mahar.
Ia memasang harga yang cukup tinggi untuk membebaskan korbannya: sekitar ƒ.150 hingga ƒ.500. Sebuah angka yang fantastis pada zamannya. Uang masuk, reputasi sebagai polisi yang "efektif" menangkap penadah pun terjaga.
Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Berkat ketekunan mantan asisten residen Klaten, tuan Van der Bor, keculasan Yoedo Prawiro akhirnya terbongkar.
Sang polisi rahasia itu dijatuhi hukuman lima tahun kerja paksa. Keadilan seolah ditegakkan, setidaknya untuk sementara.
Residivis yang Dipekerjakan Kembali
Bagian ini mungkin adalah puncak komedi dari birokrasi kolonial saat itu. Setelah lima tahun berlalu dalam penderitaan panjang kerja paksa, Yoedo Prawiro akhirnya dibebaskan.
Logika sehat akan mengatakan bahwa mantan narapidana dengan rekam jejak korup tidak akan boleh mendekati institusi hukum lagi.
Namun, hal yang mengejutkan banyak orang terjadi: ia sekali lagi diangkat menjadi mata-mata rahasia untuk polisi setempat.
Seolah diberi "lisensi" kedua, kolusi dengan kecu dimulai lagi, dan ia terlibat makin dalam.
Pesta-pesta rahasia kecu tak pernah lepas dari sosok Yoedo Prawiro di dalamnya. Ia beberapa kali terlibat dalam pesta di daerah Ngoepit, Djabon, Morangan, Grogolan, Tegalyosso, Klaten, dan tempat-tempat lainnya.
Para maling itu tidak pernah menyesal menyerahkan barang hasil curiannya kepada Yoedo Prawiro, karena ia telah memberi sejumlah keuntungan dari hasil penjualan.
Lebih-lebih, mereka seakan memiliki keleluasaan dari hukum karena dilindungi oleh "orang dalam".
Mereka secara terus menerus dengan sukarela memberikan barang-barang hasil curiannya, dan mulai mengetahui Yoedo Prawiro menjual barang-barang curian itu kepada orang-orang pribumi yang kaya.
Siklus setan itu berulang kembali. Para pembeli barang curian itu pada akhirnya ditangkap dan dibebaskan dengan ganti rugi yang besar.
Pengkhianatan dan Hukuman Kedua
Keruntuhan "kerajaan kecil" Yoedo dipicu oleh keserakahan tataran bawah. Salah seorang kecu yang dibayar terlalu rendah, mulai merasa keberatan.
Rasa sakit hati karena pembagian jatah yang tidak adil ternyata lebih tajam daripada hukum kolonial.
Hingga pada suatu waktu, ia berinisiatif untuk berkhianat dengan melaporkan keculasan sang polisi kepada petugas kepolisian lainnya di Klaten, Tuan Berner.
Sebuah penyelidikan ketat dilakukan. Seorang petugas kepolisian dikirim untuk mengawasi gerak-gerik Yoedo Prawiro dan bisnis culasnya, yang menjerumuskan pribumi kaya ke bui karena membeli barang hasil curian.
Hasilnya tak terbantahkan: kejahatan Yoedo Prawiro terbukti. Karena terbukti dan sangat meyakinkan, Yoedo Prawiro akhirnya diganjar dengan hukuman dua puluh tahun kerja paksa dengan rantai.
Penangkapan Yoedo Prawiro setidaknya membuat para kecu menggigil, menyebabkan tidak lagi ditemukan kasus perkecuan selama dua tahun setelah Yoedo Prawiro ditangkap oleh polisi setempat.
Namun, ironi hukum kembali bermain. Sejak Residen Mullemeister membebaskan delapan puluh gelandangan, dan termasuk di antaranya Yoedo Prawiro, yang ditangkap oleh Residen Van Baak atas dugaan keterlibatan dalam penggerebekan kecu di Djokja, perampokan kembali terjadi.
Keputusan pembebasan massal itu seolah membuka kotak pandora yang sempat tertutup rapat.
Situasi diperparah dengan kondisi alam. Ditambah lagi dengan gagal panen padi dan tanaman lainnya di Solo, menyebabkan harga beras melonjak tinggi, memicu kriminalitas karena perut lapar.
Selain pencurian pada penggerebekan kecu di Kartasura dan di Klaten, penggerebekan kecu terjadi di desa Djamoor, dekat Gawok, Sukoharjo, pada paruh kedua bulan Agustus, dan pada tanggal satu Agustus di rumah janda Van Muijen.
Publik saat itu menduga, gelombang kejahatan baru ini tidak lepas dari sosok lama. Semuanya tertuju pada Yoedo dan kebebasannya.
Namun, selanjutnya tak lagi ditemukan kelanjutan dari lelakon Yoedo Prawiro dalam kasus perkecuan berikutnya, meninggalkan misteri apakah ia benar-benar tobat atau justru bermain lebih cantik di balik layar sejarah.
Terjemahan lengkap
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah hasil terjemahan dari artikel Het Ketjoe-wezen in de Vorstenlanden tersebut:
Sebuah sumbangan tulisan yang menarik mengenai sistem mata-mata dan kepolisian di Vorstenlanden (Wilayah Kerajaan: Surakarta dan Yogyakarta) dikirimkan kepada kami dari Klaten, sehubungan dengan peristiwa kecu (perampokan) baru-baru ini:
Yoedo Prawiro pada waktu itu adalah mata-mata rahasia polisi, ketika Radhen Mas Toemenggoeng Mangoon Kesoemo—yang kini menjabat sebagai Rijksbestuurder (Patih)—menjadi bupati polisi di Klaten. Yoedo Prawiro sering diutus untuk mencari titik terang mengenai aksi perampokan yang telah terjadi.
Namun, ia justru bersekongkol dengan para kecu (perampok), yang mengembalikan barang-barang curian kepadanya; barang-barang yang kemudian ia jual melalui orang Jawa yang tinggal di Djokja (Yogyakarta) tetapi tidak dikenal di Klaten, kepada penduduk pribumi kaya yang berada di sana dengan harga yang sangat murah ("seharga apel dan telur").
Segera setelah ia tahu bahwa barang-barang itu berada di tangan seorang Jawa yang kaya, ia melaporkannya kepada polisi, yang kemudian diikuti dengan penggeledahan rumah serta penangkapan dan penghukuman si pemilik barang.
Terkadang ia berhasil mengatur pembebasan bagi para korbannya dengan bayaran f 150 hingga f 500 (Gulden). Berkat ketekunan mantan Asisten-Residen Klaten, Tuan Van der Bor, akhirnya kedoknya terbongkar dan ia dijatuhi hukuman lima tahun kerja paksa.
Ketika masa lima tahun itu berakhir, ia kembali ke Klaten dan, yang mengejutkan banyak orang, diangkat kembali sebagai mata-mata rahasia polisi di sana.
Persekongkolan dengan para kecu dimulai lagi dan ia turut andil dalam aksi-aksi perampokan di Ngoepit, Djabon, Morangan, Grogollan, Tegaljosso, Klaten, dan sebagainya.
Para kecu tidak pernah ditemukan, dan barang-barang curian kembali ia jual melalui pihak ketiga kepada penduduk pribumi kaya. Para pembeli kembali ditangkap, dan ia mampu mengupayakan pembebasan mereka dengan meminta bayaran yang besar.
Salah seorang kecu, yang selalu diberinya bagian terlalu sedikit dari hasil barang curian, akhirnya menyerah dan mengkhianati Yoedo Prawiro kepada Tuan Berner, agen polisi di Klaten.
Penyelidikan ketat dilakukan, kesalahan Yoedo Prawiro terbukti secara meyakinkan, dan ia dijatuhi hukuman dua puluh tahun kerja paksa dalam rantai.
Hal ini terjadi dua tahun yang lalu, dan sejak itu tidak terdengar lagi adanya aksi perampokan. Namun, sejak Residen Mullemeister membebaskan delapan puluh gelandangan—yang sebelumnya ditahan oleh Residen van Baak karena dicurigai terlibat dalam aksi perampokan yang terjadi di Djokja—aksi perampokan tersebut mulai terjadi lagi.
Hal ini diperparah dengan gagal panen padi dan tanaman lainnya di Solo, yang menyebabkan harga beras naik secara signifikan.
Selain pencurian dan aksi pembegalan di Kartasoera serta pencurian di Klaten, pada paruh kedua bulan Agustus terjadi perampokan (kecu) di desa Djomoor, dekat Gawok, dan pada tanggal satu bulan ini di tempat Nyonya Janda Van Muijen. Masih harus dilihat apakah para kecu dari aksi perampokan terakhir ini akan tertangkap. (Loc.)
Tag
Berita Terkait
-
4 Link DANA Kaget Spesial Warga Solo, Rejeki Nomplok hingga Rp149 Ribu
-
7 Susunan Kabinet Baru PB XIV Purboyo, Langkah Berani Bangun Keraton Solo Modern
-
Takhta Terbelah Dua, Duit Rakyat Tertahan: Nasib Hibah Rp200 Juta Keraton Solo di Ujung Tanduk
-
DANA Kaget Spesial Warga Solo: Akhir Pekan Cuan Rp199 Ribu, Gas Linknya Lur!
-
7 Wisata Dekat Pasar Gede Solo yang Paling Cocok untuk Healing di Akhir Pekan
Terpopuler
- 6 Mobil Terbaik untuk Lansia: Fitur Canggih, Keamanan dan Kenyamanan Optimal
- 10 Mobil Mini Bekas 50 Jutaan untuk Anak Muda, Sporty dan Mudah Dikendarai
- 5 Tablet RAM 8 GB Paling Murah yang Cocok untuk Multitasking dan Berbagai Kebutuhan
- 6 Motor Paling Nyaman untuk Boncengan, Cocok buat Jalan Jauh Maupun Harian
- 5 Rekomendasi Motor Matic untuk Keluarga yang Irit BBM dan Murah Perawatan
Pilihan
-
5 HP Memori 128 GB Paling Murah untuk Penggunaan Jangka Panjang, Terbaik November 2025
-
Hari Ini Bookbuilding, Ini Jeroan Keuangan Superbank yang Mau IPO
-
Profil Superbank (SUPA): IPO Saham, Harga, Prospek, Laporan Keuangan, dan Jadwal
-
Jelang Nataru, BPH Migas Pastikan Ketersediaan Pertalite Aman!
-
Dua Emiten Pemenang Lelang Frekuensi 1,4 GHz Komdigi: Penawaran Capai Rp 400 Miliar
Terkini
-
Hikayat Absurd Yoedo Prawiro: Polisi Rahasia Klaten Justru Jadi Raja Maling yang Licin
-
4 Link DANA Kaget Spesial Warga Solo, Rejeki Nomplok hingga Rp149 Ribu
-
7 Susunan Kabinet Baru PB XIV Purboyo, Langkah Berani Bangun Keraton Solo Modern
-
Takhta Terbelah Dua, Duit Rakyat Tertahan: Nasib Hibah Rp200 Juta Keraton Solo di Ujung Tanduk
-
Tim Scouting Nordic Sky Asia Pantau Talenta Muda Persis Solo, Ada yang Direkrut?