Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:43 WIB
Ilustrasi indutri tekstil. [Dok Suara.com]

SuaraSurakarta.id - Menurunnya industri tekstil di dalam negeri membuat pemutusan hubungan kerja (PHK) marak terjadi. Bahkan, perusahaan raksasa tekstil sekelas Sritex pun juga mengalaminya. 

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut perlu arah jelas dari pemerintah untuk menangani permasalahan industri tekstil dalam negeri agar tidak terpuruk.

Kompartemen Sumber Daya Manusia API Harrison Silaen mengatakan jika pemerintah masih menganggap penting industri tekstil artinya harus ada upaya untuk menjaganya.

"Mari kita semua, termasuk lembaga bersama-sama menjaganya. Kami sadar sekitar 20 kementerian dan lembaga yang berkaitan dengan industri tekstil, semua memiliki kepentingan masing-masing," katanya dikutip dari ANTARA pada Rabu (26/6/2024).

Baca Juga: Puncak HUT Dekranas: Leker Gajahan dan Sederet Kuliner Legendaris GoFood di Solo

Selain itu, dikatakannya, ada aturan dari masing-masing konsumen sehingga kondisi tersebut mempersulit berkembangnya industri tekstil.

"Jadi aturan dunia masuk semua, ini akan sulit untuk kami menjalankan atau bersaing dengan luar negeri," katanya.

Di sisi lain, menurut dia API juga berjuang untuk berkomunikasi dengan pihak lain dan memperbaiki kinerja di sektor industri.

Ia mengatakan saat ini rata-rata pelaku usaha tekstil tengah dalam kondisi sulit. Bahkan jika melihat dari kondisi selama sembilan tahun terakhir, menurut dia kondisi di 2023-2024 ini merupakan kondisi yang paling buruk untuk sektor tekstil dalam negeri.

"Banyak faktor yang mempengaruhi, baik faktor pasar, teknologi, regulasi, dan lainnya," katanya.

Baca Juga: Kota Solo Tuan Rumah HUT Dekranas-PKK ke-44, Bakal Bertabur Bintang dan UMKM

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua API Jawa Tengah Liliek Setiawan mengatakan kondisi geopolitik terutama krisis di Eropa yang dipicu oleh perang Ukraina dan Rusia menjadi salah satu penyebab lesunya pasar di kawasan tersebut.

"Ini jadi gejolak dalam ekonomi, gejolak yang negatif. Ini diperparah dengan lesunya market akibat pergeseran prioritas untuk spending money (membelanjakan uang)," katanya.

Apalagi, dikatakannya, Indonesia bukan satu-satunya negara produsen atau pengekspor tekstil.

Di sisi lain, menurut dia di dalam negeri industri tekstil tengah menghadapi predatory pricing atau strategi ilegal menjual barang di bawah harga yang merupakan salah satu trik perdagangan bertujuan untuk monopoli.

"Jadi tantangan tidak hanya datang dari faktor eksternal, namun juga dari dalam negeri, termasuk masalah regulasi. Kondisi saat ini disebut sebagai kondisi terburuk sejak sembilan tahun terakhir untuk dunia tekstil," katanya.

Bahkan, menurut dia jika dibiarkan maka predatory pricing ini akan mematikan UMKM.

"Jadi bukan hanya industri besar tetapi juga UMKM. Kalau UMKM berdampak artinya dampaknya sudah masif. Apalagi pelaku ekonomi kita 95 persen di UMKM," katanya.

Ia mengatakan untuk mengatasi persoalan tersebut butuh konsistensi terutama dalam hal regulasi.

Load More