Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Senin, 29 Agustus 2022 | 16:00 WIB
Masyarakat sedang melintas di pintu butulan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. (Suara.com/Ari Welianto)

SuaraSurakarta.id - Ada sebuah bangunan kuno di sekitar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kelurahan Baluwarti, Pasarkliwon.

Bangunan itu adalah sebuah pintu berukuran kecil. Masyarakat yang ingin melintas pun harus menunduk, karena jika tidak maka akan kejedot. Tinggi pintu tersebut sekitar 160 centimeter (cm) dan lebar sekitar 80 cm.

Meski kecil, pintu tersebut sering sering dipakai buat akses masyarakat atau sebagai jalan pintas.

Pintu tersebut bernama pintu butulan atau lawang butulan. Ada dua buah lawang butulan, di sebelah barat dan selatan.

Baca Juga: Putri Raja Keraton Solo Gagal Bertemu Ayahnya, Pihak Keraton Beri Respon Menohok: Harusnya Instropeksi Diri!

Lawang butulan menjadi saksi saat terjadi banjir di Kota Solo pada tahun 1966 lalu. Pada banjir yang melanda tersebut sejumlah wilayah di Kota Solo tergenang dan melumpuhkan perkonomian waktu itu. 

Salah satu wilayah yang tergenang banjir adalah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Ketinggian pun sekitar 3 meter dan bekas banjir masih terlihat.

"Pintu butulan itu pintu yang dibuat ketika banjir tahun 1966. Ketinggian di keraton waktu sekitar 3 meter, sampai saat ini ada garis di tembok keraton yang merupakan bekas banjir," ujar pemerhati sejarah dan budaya, KRMT Nuky Mahendranata Nagoro, Senin (29/8/2022).

Menurutnya, waktu itu ketika wilayah Baluwarti dilanda banjir besar, airnya tidak bisa keluar. Karena pintunya itu hanya ada empat, di barat, selatan, timur, dan utara. 

Kemudian di sekitar pintu butulan waktu itu yang dulunya sungai Kali Larangan lalu dibuka. Ini agar air yang merendam keraton itu bisa keluar. 

Baca Juga: Tak Boleh Bertemu Raja, Putri Keraton Solo Menangis

"Dulu itu daerah yang dibuat pintu itu dipakai buat mengungsi masyarakat, karena tempatnya itu tinggi. Jadi pintu itu dibuat selain agar air bisa keluar, dipakai untuk jalur pengungsian juga," terang Sentana Darah Dalem PB X ini. 

Dijelaskan, jika pintu dibuat oleh keraton atas persetujuan Sinuhun PB XII. Karena banjir tahun 1966 di Solo cukup parah, di keraton yang temboknya besar dan tinggi seperti kolam. 

Airnya besar waktu itu dan tidak bisa keluar meski ada pintu di segala arah. Menurut cerita itu air datang tiba-tiba, tidak ada hujan.

"Bisa dibayangkan dulu air setinggi itu bisa bertahan lama. Air datang itu malam sampai siangnya, tidak ada hujan dan tahu-tahu air datang," sambungnya.

Kenapa menjebol yang disebelah barat, karena yang sebelah selatan itu ambruk tembok bentengnya. Supaya tidak berbahaya meruntuhkan sisi tembok yang lain dan untuk jalut pengungsian, akhirnya jebol yang barat.

"Jadi bisa dikatakan pintu itu saksi bisu terjadinya banjir besar di Solo tahun 1966," ungkap dia.

Hingga sekarang pintu butulan itu masih ada dan dipakai buat akses atau sebagai jalan pintas masyarakat.

Karena setelah peristiwa banjir itu tidak ada rencana untuk menutup lagi, sehingga masih bertahan hingga sekarang.

"Dipakai buat jalan pintas atau cegatan, daripada masyarakat harus memutar. Jadi untuk aktivitas masyarakat dan sangat berguna sekali, akhirnya tidak ditutup," imbuhnya.

Kontributor : Ari Welianto

Load More