Dengan kondisi seperti itu, kemudian Sinuhun PB X mempunyai inisiatif akhirnya memesan gerbong jenazah. Karena pertimbangannya itu kalau naik kereta kencana terlalu lama, apalagi PB X juga merintis jalur kereta api.
"Akhirnya beliau dari Balapan ke Tugu menggunakan kereta api. Lalu dari Tugu menuju Imogiri memakai kereta kuda," paparnya.
Menurutnya, setelah buat mengantar jenazah PB X, gerbong tersebut berada di Yogyakarta ditempatkan di Stasiun Tugu dalam waktu cukup lama.
Selama di sana gerbong jenazah itu sudah mengalami restorasi yang digarap pihak Taman Mini Indonesia Indah. Prosesnya itu ditutup dengan kain mori seperti hal pusaka-pusaka keraton, lalu didoakan.
Selanjutnya pihak Keraton Keraton Kasunanan Surakarta membawa gerbong tersebut ke Surakarta dan ditaruh di area terbuka.
"Setelah dipakai, gerbong jenazah ada di Yogyakarta. Dibawa ke Surakarta itu sekitar tahun 1988-1989," sambung dia.
Saat dibawa ke Surakarta mengalami perbaikan terlebih dahulu dan ada upacara-upacara khusus. Ada dua gerbong yang mengikuti, gerbong abdi dalem dan gerbong sentono.
Perjalanannya itu sampai setengah hari dan berhenti berulang kali dibeberapa tempat.
Uniknya saat berhenti dan ingin menjalankan lagi dikasih minyak. Jadi asap dupa itu selalu mengepul dan doa-doa terus dipanjatkan para abdi dalem.
"Berhentinya itu ketika gerbong ingin berhenti sendiri bukan dihentikan. Tahu-tahu itu berat terus mengepul dan akhirnya berhenti, dikasih minyak dan doa lalu jalan lagi, itu sering terjadi. Kebetulan dulu saya ikut saat mengembalikan gerbong jenazah dari Yogyakarta ke Surakarta," terangnya.
"Saya lupa tempat-tempatnya, lebih dari lima kali berhenti. Berangkat dari Yogyakarta itu sekitar pukul 09.00 WIB, sampai Surakarta pukul 15.00 WIB," imbuh dia.
Sampai Surakarta itu ditempatkan di Stasiun Balapan beberapa bulan. Lalu dibawa ke Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan ditempatkan disisi barat alun-alun kidul.
Kenapa ditaruh disisi barat alun-alun kidul itu ada pertimbangan dan filosofinya. Karena searah dengan terbenamnya matahari di sebelah barat, jadi perjalanan dari lahir sampai meninggal.
Selain itu diharapkan biar bisa dinikmati masyarakat secara bebas, jadi tidak ditaruh di area tertutup di dalam keraton.
"Jadi ada pertimbangan dan filosofinya kenapa gerbong jenazah ditempatkan di ruang terbuka dan disisi barat," pungkasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- Bobibos Bikin Geger, Kapan Dijual dan Berapa Harga per Liter? Ini Jawabannya
- 6 Rekomendasi Cushion Lokal yang Awet untuk Pekerja Kantoran, Makeup Anti Luntur!
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
Pilihan
-
Pakai Bahasa Pesantren! BP BUMN Sindir Perusahaan Pelat Merah Rugi Terus: La Yamutu Wala Yahya
-
Curacao dan 10 Negara Terkecil yang Lolos ke Piala Dunia, Indonesia Jauh Tertinggal
-
Danantara Soroti Timpangnya Setoran Dividen BUMN, Banyak yang Sakit dan Rugi
-
Mengapa Pertamina Beres-beres Anak Usaha? Tak Urus Lagi Bisnis Rumah Sakit Hingga Hotel
-
Pandu Sjahrir Blak-blakan: Danantara Tak Bisa Jauh dari Politik!
Terkini
-
7 Makna Gelar Panembahan dalam Sejarah Keraton Kasunanan Surakarta
-
KPU Solo Bantah Musnahkan Arsip Dokumen Jokowi
-
Wajib Coba! 3 Kuliner Legendaris Solo yang Bikin Lidah 'Bergoyang' Sampai ke Tulang
-
Sikat 4 Link Ini! Saldo DANA Kaget Rp299 Ribu Siap Bikin Hidup Makin Tentrem
-
Profil KGPH Benowo: Dalang Kondang Adik PB XIII, Sosok Bijak di Tengah Konflik Keraton Solo