10 Babak Perebutan Takhta Keraton Solo: Kisah Lengkap Dua Putra Raja yang Saling Mengklaim

Usai PB XIII wafat (Nov 2025), perebutan takhta Keraton Surakarta memanas. Dua putra, Purboyo (wasiat 2022) & Mangkubumi (adat), deklarasi raja, ciptakan dualisme.

Budi Arista Romadhoni
Senin, 17 November 2025 | 09:53 WIB
10 Babak Perebutan Takhta Keraton Solo: Kisah Lengkap Dua Putra Raja yang Saling Mengklaim
Ilustrasi dualisme dua raja Keraton Kasunanan Surakarta. [ChatGPT]
Baca 10 detik
  • Perebutan takhta Keraton Surakarta memanas setelah wafatnya Paku Buwono XIII awal November 2025, memicu klaim suksesi dari dua putranya.
  • Purboyo mengklaim takhta pada 5 November 2025 berdasarkan surat wasiat 2022, ditentang oleh Tejowulan yang memegang mandat Kemendagri.
  • Kondisi dualisme tahta mengeras ketika Mangkubumi mendeklarasikan diri pada 13 November 2025 mengacu pada adat putra sulung sebagai penerus sah.

Gusti Moeng, putri PB XIII lainnya, menyatakan bahwa Mangkubumi adalah putra sulung yang menurut adat berhak naik tahta. Legitimasi berbasis adat ini menjadi tandingan kuat terhadap surat wasiat Purboyo.

Babak 8: Tejowulan Hadir Dalam Acara tetapi Mengaku Tidak Tahu Agenda Penobatan

Tedjowulan hadir dalam agenda keluarga pada 13 November, tetapi ia mengaku tidak menyadari bahwa acara itu akan berujung pada penobatan Mangkubumi. Ia menegaskan hadir hanya sebagai tamu, bukan pendukung salah satu pihak.

Babak 9: Tejowulan Menyatakan Kedua Penobatan Belum Sah

Baca Juga:Bikin Dompet Tebal! Saldo DANA Kaget Rp299 Ribu Menanti, Sikat 4 Link Ini Sekarang!

Sebagai pengelola keraton berdasarkan SK Kemendagri, Tejowulan menilai kedua deklarasi—baik 5 November maupun 13 November—belum memiliki validitas penuh. Ia menyebut belum ada proses adat maupun administrasi yang mengesahkan salah satu pihak.

Babak 10: Dualisme Tahta Semakin Mengeras

Dengan adanya dua deklarasi resmi dalam rentang 8 hari setelah wafatnya PB XIII, Keraton Solo berada dalam situasi dualisme. Purboyo mengandalkan wasiat, sedangkan Mangkubumi mengandalkan garis keturunan adat.

Pertarungan dua legitimasi ini membuat publik bertanya siapa yang benar benar sah memimpin Keraton Surakarta.

Konflik ini menunjukkan betapa rapuhnya mekanisme suksesi di Keraton Surakarta. Dalam rentang waktu yang sangat singkat sejak PB XIII wafat, keputusan yang diambil secara tergesa gesa justru memperlebar jurang perbedaan di dalam keluarga.

Baca Juga:Geger Keraton Solo: Profil Hangabehi, Raja Tandingan yang Ditunjuk Melawan Wasiat PB XIII?

Ketidakhadiran musyawarah adat yang jelas membuat suksesi menjadi ajang perebutan legitimasi, bukan kesepakatan bersama.

Ke depan, tanpa mekanisme yang disepakati oleh seluruh keluarga besar dan tokoh adat, keraton berpotensi kembali mengalami dualisme serupa setiap kali terjadi pergantian raja.

Pertanyaannya kini, apakah keraton mampu menemukan jalan tengah yang menjaga kewibawaan adat sekaligus menghormati garis keturunan raja?

Kontributor : Dinar Oktarini

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak