SuaraSurakarta.id - Pelaku bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar, Kota Bandung, Jawa Barat adalah Agus Sujatno alias Abu Muslim yang merupakan residivis kasus terorisme.
Pengamat Terorisme. Dr. Ardi Putra Prasetya, M.Krim mengatakan, peristiwa ledakan bom bunuh diri (suicide bombing) marak digunakan oleh lelompok teror.
Stategi ini digunakan oleh kelompok Al Qaeda dan ISIS yang diaplikasikan oleh kelompok JI dan JAD di Indonesia.
Aksi yang membuat satu orang polisi tewas hingga hingga empat orang lainnya mengalami luka-luka disebut sudah direncanakan dengan baik.
Baca Juga:Aiptu Sopyan Gugur Dalam Tugas Jadi Korban Bom Bunuh Diri Polsek Astanaanyar
"Sudah direncankan matang dan melalui beberapa survei, tidak mungkin aksi dilakukan secara spontan. Apalagi di sana ditemukan tulisan --KUHP Hukum Syirik/Kafir Perangi Para Penegak Hukum Setan QS' 9:29," terang dia, Rabu (7/12/2022).
Seharusnya kata Ardi, mantan pelaku kejahatan idealnya berubah dan mengalami efek jera usai menjalani masa pidananya. Namun tidak berlaku koheren dengan kejahatan ideologis bernama terorisme. Bahkan, banyak pelaku teror menganggap sistem peradilan pidana, termasuk penghukuman di lembaga pemasyarakatan adalah bagian dari perjuangan suci-nya.
"Di sisi lain regulasi yang mengatur pemidanaan pelaku teror, UU no 5/2018 hanya mengatur tindak pidana terorisme berdasarkan perbuatannya, bukan ideologi pro kekerasannya. Jadi, tidak heran ketika mantan narapidana terorisme kembali ke masayarakat, masih memiliki muatan ideologis ekstremisme berbasis kekerasan," jelas dia.
Didunia, umumnya digunakan dua pendekatan untuk menghentikan seseorang dari aktivitas terorisme, yaitu deradikalisasi dan disengagement (pelepasan).
Di mana, deradikalisasi fokus pada mengubah pemikirannya, sementera disengagement fokus pada social setting yang berimplikasi pada perubahan perilakunya.
Baca Juga:Dampak Bom Bunuh Diri di Bandung, Polres Kota Sukabumi Perketat Penjagaan dengan Metal Detector
Ada juga kata dia, teori desistensi dari terorisme untuk mengkaji bagaimana seseorang bisa lepas dari jerat teror dan ismenya.
Desistensi melihat multi-faktor, tentang potensi seseorang untuk berhenti menjadi pelaku teror. Faktor tersebut terdiri atas tiga kanal, kanal pertama memuat parameter kebutuhan dasar (needs), narasi dan jaringannya (networks).
"Maka peristiwa ini menjadi titik balik kita untuk lebih aware terhadap aksi terorisme. Ada banyak yang harus dilakukan," jelas dia.
Di antaranya menurut Ardi, aparat penegak hukum supaya memperkuat keamanan wilayah/ kantor (target hardening), karena peristiwa semacam ini dapat menjadi detonasi terjadinya aksi serupa di wilayah-wilayah lain.
Kemudian untuk takeholder yang membidangi intervensi pelaku teror, supaya lebih tajam dalam mengidentifikasi permasalahan ideologis, selain itu program intervensi yang diberikan harus tepat pada kebutuhan para sasaran program," paparnya.
"Terorisme adalah fenomena nyata. Terorisme bukanlah konspirasi dan buatan dari aparat, melainkan merupakan permasalahan sosial yang selalu ada dalam setiap era dan setiap masa," kata dia.