SuaraSurakarta.id - Usman Amirodin (82), merupakan salah satu saksi hidup dan pelaku kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) di Kota Solo.
Dia, ingat betul pada 22 Oktober 1965 menjelang malam usai melakukan demokrasi dan membakar rumah atau tokoh milik atau pro PKI. Waktu itu, dia bersama beberapa pemuda lainya mendapat bagian di daerah Nonongan.
Saat melakukan aksinya itu, kemudian ada oknum aparat datang dan menyampaikan ke gerombolan pemuda jika masalah ini sudah selesai dan supaya kumpul di Balaikota Solo.
"Adik-adik, ini sudah selesai supaya diminta kumpul ke Balaikota," ujar Usman menirukan apa yang disampaikan tersebut.
Baca Juga:Kisah dr Djelantik Menolak Serahkan Pasien Simpatisan PKI ke Pasukan Tameng
Para pemuda pun langsung berbondong-bondong menuju Balaikota Solo bersama-sama. Namun, begitu sampai di Gladak tepatnya di depan gereja, para pemuda ditembaki dari arah timur.
Masa pun langsung bubar dan lari tunggang langgang menyelamatkan diri dari tembakan tersebut.
"Kalau tidak salah yang meninggal itu ada enam atau tujuh orang. Waktu itu saya umur 22 tahun," terang Usman saat ditemui di kediamannya di Jalan Radjiman Nomor 456 RT 02 RW 04, Kelurahan Bumi, Laweyan.
Sebenarnya waktu itu ada instruksi dari Pemuda Muhammadiyah setelah selesai harus kembali ke Balai Muhammadiyah. Apalagi lokasinya juga dekat.
"Tapi waktu itu kami tidak pengalaman, apalagi yang menyuruh aparat militer dan bisa dipercaya. Akhirnya ke Balaikota, ternyata itu jebakan buat kami semua," sambungnya yang waktu itu menjadi anggota Pemuda Muhammadiyah.
Baca Juga:Terkuak! Berstatus Ayah-Anak, Gibran Harus Janjian Dulu untuk Bertemu Presiden Jokowi
Waktu ada tembakan itu, dia bersama satu temannya lari dan bersembunyi di gedung percetakan yang populer waktu itu (sekarang BCA). Ia bersembunyi sambil melihat situasi, bahkan melihat peluru yang ditembakan seperti kembang api.
Karena saat menuju Balaikota, Dia berada di rombongan belakang dan kaget saat ada tembakan.
"Saya sembunyi berdua sama teman dari GPM. Belum berani keluar dan tidak tidak berani pulang sampai benar-benar aman. Teman saya ada yang tertembak," kisah pria kelahiran 30 Juni 1939.
Setelah situasi benar-benar aman agak malam baru keluar dari persembunyian dan pulang ke rumah di Kusumoyudan, Keprabon.
Sampai di rumah langsung ketemu ibu dan dikasih kalau keponakannya yang bernama Salim waktu itu berusia 13 tahun tadi mengikuti aksi.
"Saya tanya, sekarang di mana bu. Waktu itu ternyata banyak teman-teman yang tertembak kakinya dan ibu salah satu yang mengurus," ungkap dia.
Esok harinya, Dia mendapat kabar kalau keponakannya meninggal. Dapat informasi juga jika setelah aksi semalam yang mau pulang dicegat di berbagai lokasi.
Lalu dibawa ke Kedung Kopi daerah pinggiran Sungai Bengawan Solo di Kelurahan Pucangsawit, Kecamatan Jebres dan semuanya disiksa serta dibunuh.
"Yang dibawa itu sudah meninggal semua di Kedung Kopi, termasuk keponakan saya. Di sana itu dihajar hingga rusak badanya, keponakan saya ditusuk di leher hingga tembus. Total yang dibawa itu ada 23 orang, 22 orang dari dan satu orang Klaten," ucapnya.
Selanjutnya mereka yang meninggal dibawa ke rumah sakit dan diambil serta diserahkan ke keluarganya.
"Sejak peristiwa itu Solo dikuasai oleh orang-orang nasionalis dan agamis. Gantian kita yang operasi orang-orang PKI, setiap malam kita mencari itu peduli kenal yang ditangkap," paparnya.
Dia juga ingat harus menunjukan tetangga di belakang rumahnya yang orang PKI. Mereka dibawa oleh aparat, tidak tahu nasibnya seperti apa setelah ditangkap.
"Ada juga yang sempat dibawa dulu ke Balai Muhammadiyah. Di sana diminta, ayo baca syahadat tidak bisa, ayo baca bismillah tidak bisa juga," ujar Usman.
Diceritakan, sebelum peristiwa itu tersebut kondisi Kota Solo memang mencekam. Itu berlangsung mulai 1-22 Oktober 1965, atau setelah pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965.
Waktu itu warga non PKI dari nasionalis dan agamis menjadi satu saling menjaga. Dulu tiap malam makannya nasi bungkus, ada dapur umum yang menyediakan.
"Tiap malam kita tidak berani tidur di rumah tapi berjaga-jaga dan jalan-jalan kampung ditutup. Di Solo itu memang PKInya kuat sekali," tuturnya.
Tidak ada teror fisik, hanya teror mental saja, Tapi warga dan para pemuda tetap waspada. Sebenarnya sebelum meletus Gerakan 30 S PKI, Solo sudah dikuasai.
Sempat ada aparat yang berkeliling dan menjumpai warga serta pemuda yang berjaga. Aparat meminta pulang dan kembali ke rumah, karena masalah itu merupakan urusan internal TNI.
"Sudah, masuk ke rumah masing-masing tidak usah kumpul-kumpul. Ini urusan internal Angkatan Darat, masuk ke rumah saja," tuturnya.
Dulu itu mendengar berita ada Dewan Revolusi pada, 30 September 1965. Waktu itu, dia baru mengikuti pelatihan kader dari Pemuda Muhammadiyah di Banyuagung, Mojosongo.
"Awalnya belum tahu apa itu Dewan Revolusi. Kita tahu malamnya, jika itu gerakan membunuh para jenderal. Paginya baru tahu jika gerakannya itu dari PKI dan sejak itu Solo mencekam sekali," tandas dia.
Pada, 22 Oktober 1965, bisa mendatangkan RPKAD dan para pemuda dari nasionalis dan agamis menyambut. Namun, sayang RPKAD kembali ke Magelang, aksi terus dilakukan.
Saat peristiwa di Kedung Kopi, ada pamong lurah bernama Sutiman Dempo yang ditangkap oleh orang-orang PKI dan dibawa ke Kedung Kopi.
Ia pura-pura mati waktu itu, jadi tahu siapa-siapa yang membunuh orang-orang di Kedung Kopi.
"Setelah aman, sekitar waktu subuh itu, ia sudah bisa lari. Setelah itu ia, menjadi sumber informasi dan saksi, akhirnya pada ditangkap," katanya.
Pada, 23 Oktober 1965, kondisi aman karena sudah dikuasai. Karena merasa masih menguasai, orang-orang masih berkeliaran dan seperti biasa, ternyata sudah dikuasai oleh orang-orang non PKI.
"Sejak dikuasai non PKI,kami sudah merasa kondusif dan aman. Gantian orang-orang PKI yang was-was dan keteror," ucap Usman.
Usman mengatakan, hingga saat ini peristiwa itu masih terus diingat dan dulu sempat emosi ada pembantaian.
Usman pun menganalisa terjadinya konflik horizontal antara masa PKI dengan non PKI itu sejak peristiwa Solo. Sejak itu di daerah-daerah lain gantian gerak balas dendam dengan mencari masa PKI.
"Saya berharap PKI tidak bangkit dan kuat lagi, yang kasihan itu anak cucu kita kedepan. Ini jangan sampai terjadi dan harus diantisipasi dari sekarang," tandas dia.
Kontributor : Ari Welianto