Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Selasa, 14 Januari 2025 | 13:26 WIB
Peristiwa geger pecinan yang terjadi di masa lalu dan diyakini menjadi asal muasal terbentuknya Kota Solo. [Wikipedia]

SuaraSurakarta.id - Momen Imlek 2025 membawa kita untuk mengenang sejarah panjang keberadaan komunitas Tionghoa di Kota Solo, khususnya dengan peristiwa bersejarah yang dikenal sebagai Geger Pecinan.

Peristiwa ini, yang terjadi pada tahun 1742, meninggalkan jejak mendalam dalam perjalanan sejarah masyarakat Tionghoa di Jawa, khususnya di Surakarta.

Bagi masyarakat Tionghoa, perayaan Imlek bukan hanya sekadar perayaan tahun baru, tetapi juga merupakan waktu untuk merenung dan menghargai perjuangan serta keberhasilan mereka dalam bertahan dan berkembang di tengah tantangan zaman.

Peristiwa Geger Pecinan

Baca Juga: Simpang Joglo Solo Resmi Dibuka: 5 Fakta Menarik yang Wajib Ketahui

Peristiwa Geger Pecinan di Kartasura, yang terjadi pada tahun 1742, merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, khususnya pada masa penjajahan VOC.

Seperti halnya peristiwa besar lainnya, Geger Pecinan memiliki latar belakang yang panjang. Semua berawal dari pembantaian yang dilakukan VOC terhadap masyarakat Tionghoa di Batavia pada 9 hingga 10 Oktober 1740. Rumah-rumah orang Tionghoa dibakar, dan banyak yang dieksekusi oleh pasukan VOC.

Tindakan brutal tersebut memicu reaksi keras dari masyarakat Tionghoa. Mereka pun melarikan diri ke wilayah Jawa Tengah dan kemudian bersekutu dengan kekuatan Mataram, di bawah pimpinan Sunan Pakubuwana II.

Meski sempat bersekutu dengan Mataram pada tahun 1741, situasi berubah pada 1742, ketika Pakubuwana II berbalik mendukung VOC setelah melihat kekalahan pasukan Tionghoa-Mataram dalam beberapa pertempuran.

Tindakan Sunan Pakubuwana II ini menyebabkan kemarahan yang mendalam di kalangan masyarakat Tionghoa. Mengutip buku Zaman Kalasurasa karya Wahyudi (2015), masyarakat Tionghoa yang merasa dikhianati kemudian mengamuk dan menghancurkan istana Kartasura.

Baca Juga: Link Live Streaming Persis Solo vs PSM Makassar: Bangkit Laskar Sambernyawa!

Peristiwa ini dikenal dengan nama Geger Pecinan. Setelahnya, Pakubuwana II dan prajuritnya melarikan diri ke Magetan, sementara Raden Mas Garendi dinobatkan sebagai Raja Mataram yang baru dengan gelar Sunan Amangkurat IV.

Namun, meskipun pasukan Tionghoa-Jawa berhasil merebut Kartasura, pertempuran belum berakhir. VOC, bersama pasukan Madura dan Pakubuwana II, kembali bersatu untuk menyerang Kartasura dari tiga arah.

Serangan bertubi-tubi ini dipimpin oleh Cakraningrat, yang akhirnya berhasil merebut Keraton Kartasura. Setelah sejumlah perdebatan dengan VOC, Keraton Kartasura kembali ke tangan Pakubuwana II. 

Peristiwa ini mencerminkan betapa rumitnya perjuangan dalam menghadapi kolonialisme dan menunjukkan betapa kuatnya pengaruh pertarungan politik pada masa itu.

Meskipun peristiwa ini membawa penderitaan bagi banyak orang, namun di baliknya terdapat pelajaran besar tentang pentingnya persatuan, toleransi, dan pentingnya melestarikan kebudayaan dan identitas.

Terbentuknya Kampung Pecinan Surakarta

Setelah peristiwa Geger Pecinan, komunitas Tionghoa di Surakarta berangsur-angsur pulih dan membangun kembali kehidupan mereka.

Kampung Pecinan di Surakarta, khususnya Kampung Balong, menjadi salah satu wilayah yang paling signifikan dalam menyimpan sejarah panjang tersebut.

Kampung ini menjadi tempat berkumpulnya masyarakat Tionghoa yang berperan besar dalam perkembangan ekonomi dan budaya kota.

Banyak pedagang Tionghoa yang kembali membuka usaha mereka dan menjadikan Kampung Balong sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan.

Dalam proses pemulihan ini, orang Tionghoa di Surakarta terus memperkuat persatuan dalam komunitas mereka, serta berusaha untuk menjaga dan melestarikan tradisi budaya Tionghoa.

Keberadaan klenteng, festival budaya, dan berbagai kegiatan sosial menjadi bentuk dari kebangkitan dan semangat baru yang diwariskan turun-temurun hingga saat ini.

Hikmah Geger Pecinan untuk Perayaan Imlek 2025

Peristiwa Geger Pecinan mengajarkan kita banyak hal, terutama mengenai pentingnya menjaga persatuan dan menghargai keragaman budaya.

Di tengah tantangan zaman, komunitas Tionghoa di Surakarta telah menunjukkan ketahanan luar biasa dalam menghadapi berbagai rintangan, dan kini mereka berhasil menjadi bagian penting dari keberagaman kota ini.

Imlek 2025 menjadi momen yang tepat untuk merefleksikan hikmah dari peristiwa sejarah tersebut. Sebagai sebuah perayaan, Imlek tidak hanya tentang pesta dan kegembiraan, tetapi juga sebagai waktu untuk merenungkan kembali perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh generasi terdahulu.

Perayaan ini mengingatkan kita akan pentingnya persatuan, menghargai perbedaan, serta menjaga dan melestarikan budaya untuk generasi mendatang.

Di tengah gemerlapnya perayaan Imlek 2025, kita tidak boleh melupakan sejarah panjang yang telah dilalui oleh masyarakat Tionghoa di Surakarta, khususnya pasca peristiwa Geger Pecinan.

Dengan terus menjaga tradisi, melestarikan budaya, dan menghargai kebersamaan, perayaan Imlek menjadi momen yang penuh makna.

Ini juga menjadi pengingat pentingnya menghormati setiap proses yang membawa kita kepada keberagaman yang ada saat ini.

Dengan mengenang dan menghargai sejarah seperti Geger Pecinan, kita semua dapat menjaga semangat persatuan dan kerukunan antar golongan, serta merayakan Imlek dengan penuh kebahagiaan dan makna yang mendalam.

Kontributor : Dinar Oktarini

Load More