Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Jum'at, 19 Mei 2023 | 15:24 WIB
Ilustrasi kerusuhan Mei 1998. [wikipedia]

SuaraSurakarta.id - Sumartono (67) tidak bisa melupakan kejadian kerusuhan Mei 1998 di Kota Solo

Ia menjadi salah satu korban pada peristiwa tersebut, di mana rumahnya di Jalan Juanda daerah Gandekan, Jebres dirusak dan barang-barang dijarah masa.

Bahkan Sumartono dan keluarga harus mengungsi di rumah warga selama beberapa hari mengingat kondisi waktu itu sangat mencekam.

Untuk keluar rumah dan menyelamatkan diri, harus menjebol tembok rumah bagian belakang dengan dibantu warga. 

Baca Juga: Kapten Timnas Indonesia U-22 Lempar Kode Ramadhan Sananta Menuju Persis Solo

Dikatakan saat hari peristiwa tersebut, ia mendapat informasi dari teman-teman Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari) kalau ada demo mahasiswa. Karena dulu memang sudah aktif ikut di Orari dan beberapa organisasi lainnya.

"Setiap ada demo itu saya selalu dikabari. Satu hari pas hari H itu, saya ditelepon sekitar pukul 09.00 atau 10.00 WIB, ada demo dan bilang kok ini agak seram, lebih baik jaga-jaga tutup saja karena kelihatannya mau masuk ke kota," ujar dia, Selasa (16/5/2023).

Ditelpon dan dapat kabar seperti itu, ia menelepon teman-temannya yang tinggal di Jalan Slamet Riyadi Solo agar menutup tokonya. 

"Tapi telepon belum selesai terdengar suara duar, ternyata genteng rumah dilempari batu. Terus saya ditelepon Pak RW dan bilang, 'Pak Martono ngungsi ke belakang ya'," kata pria kelahiran Solo, 21 Maret 1956.

Saat kejadian itu depan rumah sudah banyak masa sambil berteriak "bakar, bakar". Karena setiap perempatan itu informasinya ada yang dibakar, ada yang bakar ban juga. 

Baca Juga: Ramadhan Sananta Dirumorkan Tinggalkan PSM Makassar, Bergabung ke Persis Solo?

Untuk keluar rumah menjebol tembok bagian belakang, yang jebol itu warga pakai linggis. Karena di bagian depan rumah sudah banyak dan dikepung masa.

"RT ku, pak, tak bobolke lewat mburi, ojo metu njobo, ditutup wae. Terus bobol tembok belakang, temboknya itu empuk jadi mudah dijebol karena kuno," sambung dia.

Saat proses penyelamatan pun berlangsung dramatis, ia dan keluarga harus keluar rumah dengan lubang kecil dari tembok yang dijebol. 

"Pas keluar aku ditarik kepala dulu saat keluar, terus istri, ibu, kakak jadi satu rumah. Sampai sekarang tembok yang dijebol tak lestarikan dan dikasih pintu,"  ceritanya.

Sumartono mengaku tidak menyangka dan tidak pernah berpikir kalau rumahnya bakal jadi sasaran saat peristiwa Mei 1998. Waktu itu rumahnya dipakai buat kantor dan bengkel.

Bahkan dalam peristiwa itu belasan ribu korban dan bangunan dirusak serta dibakar.

"Sama sekali saya tidak berpikir rumahnya jadi sasaran. Tapi tidak dibakar karena diperingatkan sama Pak RW dan Pak RT," terang dia.

"Masa tetap masuk rumah dan menjarah barang-barang malam harinya. Mesin pompa air hilang, AC juga hilang, mainan anak diambil dan kaca-kaca dipecah," lanjutnya.

Ia bersama keluarga diselamatkan dan mengungsi di rumah warga kurang lebih satu minggu sampai benar-benar kondisi aman. Atas kejadian ini, ia merasa trauma dan sempat mendapat perawatan psikiater kurang lebih 1,5 tahun.

"Saya di rumah warga itu seminggu, di belakang rumah. Aku dirawat di dokter psikiater itu 1,5 tahun, karena stres itu harus diturunkan," ucap dia.

"Keluarga juga stres semua, tapi tidak separah aku. Aku itu hidung sampai terganggu, di ruang atau kereta sempat mau melompat. Di kamar di rumah, saya keluar jalan-jalan di halaman," ungkap dia.

Selama 1,5 tahun itu, selain di psikiater juga melakukan meditasi. Itu untuk memulihkan atau recovery buat pemulihan setelah peristiwa itu.

"Selama itu saya juga melakukan latihan meditasi di rumah," imbuhnya.

Waktu itu kondisinya memang mencekam dan serem, beberapa hari listrik mati. Siang malam itu warga tidak ada yang berani keluar. 

Ia berharap peristiwa Mei 1998 lalu tidak terulang lagi di Kota Solo. Dalam peristiwa tersebut paling parah secara jumlah paling banyak di Jakarta, tapi presentasinya Solo paling parah. Karena semua perempatan dibakar. 

Pasca peristiwa itu, bersama teman-temannya mendirikan posko di PMS dan di lima kecamatan. Posko itu didirikan untuk membantu pemulihan warga yang menjadi korban.

Selain itu juga mendata jumlah warga yang menjadi korban, hasilnya itu ada sekitar 16.000 korban.

"Kami data semua korban, surat-surat penting juga, akta kelahiran dan lain-lain. Mereka juga kami kasih uang buat biaya hidup selema tiga bulan, anggota keluarga dapat Rp 100.000, kepala keluarga Rp 150.000," tandas dia.

"Setelah tiga bulan itu, mereka suruh kami datang, kalau sudah siap kerja akan dikasih uang Rp 7 juta buat modal awal. Kalau belum siap mundur tiga bulan lagi dan kami kasih uang lagi," pungkasnya.

Kontributor : Ari Welianto

Load More