Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Rabu, 19 Oktober 2022 | 16:10 WIB
Frans Setiabudi (duduk, paling kanan), Hong Widodo (berdiri, kedua dari kanan), Sie Kingtjong (berdiri, kedua dari kiri) dan Kwa Biek Tjong (berdiri, ketiga dari kanan) menjadi beberapa pemain keturunan Tionghoa di Persis Solo saat menjuarai kompetisi level Jawa Tengah, 1968/1969. [Dok]

Disinggung adanya bayang-bayang rasialisme di masa lalu, Didik menilai memori itu kini sudah berangsur hilang. Didik yang notabene suku Jawa tak pernah memiliki kendala berkomunikasi dengan kalangan Tionghoa.

Kesamaan hobi yakni sepak bola membuat mereka akrab meski berbeda ras maupun agama. Stigma kalangan Tionghoa yang sulit membaur dengan masyarakat lokal pun tak dirasakannya.

“Mereka itu malah enggak mau dibilang Cina. Saya Indonesia, lahir dan besar di Indonesia,” ujar Didik menirukan ucapan rekan dari kalangan Tionghoa.   

Dia menilai modal sosial itu sangat berharga untuk memupuk toleransi dari beragam latar belakang suku, etnis maupun agama.

Baca Juga: Viral! Koh Steven Telah Mengislamkan 63 Ribu Orang, Al Jazeera Menyebutkan Hal Itu

Didik percaya sepak bola dapat menjadi alat pemersatu. Hal itu coba dia tanamkan saat mendampingi anak didiknya di SSB.

Sepak bola itu netral, tidak memihak etnis atau keyakinan tertentu. Walau beda agama, tapi kalau sudah di lapangan ya sudah. Kita bahkan bisa selebrasi sujud bersama-sama,” kata dia.

Asa Jadi Pemain Timnas

Para pemain Persis Solo era akhir 1960-an berfoto di Balai Persis. Saat itu latar belakang pemain Persis bervariasi mulai etnis Jawa hingga Tionghoa. [Istimewa/Franz Setiabudi]

Dilon Gustafiano, 8, dan Michael Novaldo, 8, menjadi sejumlah anak keturunan Tionghoa yang rutin berlatih di SSB TNH. Ketika akhir pekan tiba, mereka bakal langsung “mengejar” sang kakek, Eko Sunaryo, agar diantar ke lokasi latihan di Lapangan Karangasem.

Saudara keponakan itu terbiasa bangun pukul 05.30 WIB di hari Minggu. Latihan bakal dimulai pukul 06.30 WIB. Butuh sekitar setengah jam untuk menuju lokasi latihan dari rumah mereka di Kwarasan, Sukoharjo.

Baca Juga: Cerita Djoko Wahyudi Teman SMA Presiden Jokowi, Ijazahnya Pernah Ditawar Rp10 Miliar

“Hari ini mereka bingung karena enggak bisa latihan. Kebetulan lapangannya baru dipakai acara warga,” ujar sang kakek yang akrab disapa Eko Siang.

Perkenalan Dilon dan Michael dengan sepak bola bermula dari Eko Siang yang sering mengajak mereka menonton latihan bola di Lapangan Karangasem.

Kedua cucunya itu langsung menganggukkan kepala ketika ditawari ikut SSB TNH setahun silam. Mereka antusias, tak canggung ketika berlatih dengan anak-anak lain yang mayoritas suku Jawa.

Eko Siang memendam mimpi Dilon dan Michael dapat menjadi pemain Timnas di kemudian hari. Belakangan sejumlah pemain Tionghoa mulai mencuat di Timnas meski masih bisa dihitung dengan jari seperti Kim Jeffrey Kurniawan, Juan Revi dan Sutanto Tan.

“Asal tekun dan ada yang mengarahkan, saya yakin bisa. Apalagi sepak bola sekarang sudah bisa diandalkan untuk hidup,” ujar lelaki 64 tahun itu.   

Klub-klub profesional saat ini juga tidak memandang etnis maupun warna kulit dalam merekrut pemain. Musim ini Persis Solo memiliki Sutanto Tan, pemain keturunan Tionghoa kelahiran Pekanbaru. Gelandang 28 tahun itu menjadi salah satu andalan di lini tengah Persis.

Load More