Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Minggu, 21 Agustus 2022 | 07:20 WIB
Ilustrasi covid-19. Kecemasan akibat pandemi COVID-19 yang terjadi hampir tiga tahun tak bisa dihindarkan. Hal itu tentu saja membuat kehidupan menjadi terganggu. (pixabay)

Setelah hampir tiga tahun berlangsung, pandemi COVID-19 masih menyisakan kecemasan bagi sebagian orang. Namun, trennya turun seiring angka kasus yang juga turun, menurut psikolog klinis dari Ikatan Psikolog Klinis wilayah Banten Mega Tala Harimukthi, berkaca pada data sesi konseling miliknya.

Cemas ini lebih banyak terkait bagaimana regulasi diri selama ini dan kemampuan orang-orang menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan di masa pandemi.

Mega Tala mencatat, sebagian kliennya kelelahan lantaran harus kembali bekerja dari kantor (work from office atau WFO), sementara dua tahun terakhir mereka menjalani WFH. WFO justru membuat mereka lelah secara fisik dan mental lelah karena harus berinteraksi kembali dengan orang lain.

Pandemi membuat orang-orang ini dapat menikmati masa-masa sendiri, padahal sebelumnya mereka senang berkumpul dengan teman-teman mereka. Tetapi, saat kesempatan berkumpul kembali terbuka, mereka justru merasa aneh dan kehilangan energi.

Baca Juga: Update COVID-19 Jakarta 19 Agustus: Positif 2.217, Sembuh 2.288, Meninggal 5

Menurut Mega Tala, fenomena ini unik. Masalah kesehatan mental yang orang-orang alami saat ini terkait dengan kepribadian dan karakteristik individu karena adanya perubahan situasi.

Sementara kebanyakan mereka yang sudah bisa mengatasi masalahnya, sudah berproses menerima dan berdamai dengan kondisi pandemi beserta aturan-aturannya.

Walau memang, tak semua orang patuh menerapkan protokol kesehatan. Hasil survei perilaku masyarakat pada masa pandemi COVID-19 dari Badan Pusat Statistik pada 16 Februari-25 Februari 2022 yang melibatkan 254.817 orang responden di Jawa-Bali (66,71 persen) dan Luar Jawa-Bali (33,29 persen) menunjukkan tingkat kepatuhan responden khusus di luar Jawa-Bali terutama protokol menjaga jarak dan mengurangi mobilitas di bawah 65 persen, sementara di Jawa-Bali tercatat cukup baik.

Survei ini menggunakan rancangan rancangan nonprobability sampling yang disebarkan secara berantai (snowball). Data memperlihatkan, masih cukup banyak responden di Luar Jawa-Bali yang belum patuh dalam menghindari kerumunan (34 persen),menjaga jarak minimal 2 meter (36 persen), dan mengurangi mobilitas (36 persen).

Pada mereka yang patuh protokol kesehatan, secara umum tingkat, sebagian besar motivasinya karena kesadaran pribadi (91,6 persen) diikuti motivasi menaati peraturan (6,3 persen). Namun, masih ada sebagian kecil yakni 0,5 persen responden yang tidak peduli atau tidak percaya dengan penerapan protokol kesehatan.

Baca Juga: Gibran Kembali Positif Covid-19, Dinkes Solo Akui Kasus Covid-19 sedang Meningkat

Solusi pakar

Load More