SuaraSurakarta.id - Kampung Batik Laweyan merupakan salah satu kampung tertua yang ada di Kota Solo. Di sana masih banyak bangunan-bangunan tua dan besar yang kokoh berdiri.
Namun di kampung tersebut, terdapat satu rumah milik warga yang merupakan rumah tertua. Konon, rumah yang berada di Sayangan Wetan RT 01 RW 02 Laweyan tersebut dibangun pada tahun 1758.
Untuk menuju ke rumah tersebut harus melewati gang-gang kecil di antara tembok-tembok bangunan lawas. Karena lokasinya beberapa meter dari jalan di Kampung Batik Laweyan.
Rumah kuno tersebut merupakan milik keluarga Martodinomo. Bahkan sampai saat ini berdiri kokoh dan ditempati secara turun temurun oleh keturunan Martodinomo.
Baca Juga:Dilarang Dampingi Presiden Jokowi Saat Kunker, Wakil Wali Kota Solo Kecewa dan Bakal Lapor Gibran
Salah satu keturunan Martodinomo, Dewi Waraswati (61) menceritakan jika di dalam rumah ada sebuah prasasti bergambar gajah naik bulan sabit dan tidak tahu artinya apa.
Dalam prasasti tersebut terdapat tulisan, tapi tulisan jawa dan angka 1758. Dulu itu di sini kampung untuk membuat kendil dan kukusan, kemudian berkembangnya waktu dipakai untuk membuat cap untuk batik.
"Dulu simbah-simbah saya membuat cap batik. Mungkin ini rumah yang tertua di sekitar Laweyan yang didirikan pada tahun 1758," ujar Dewi saat ditemui, Selasa (15/3/2022).
Menurutnya, ini rumah simbah dan sudah ditempati secara turun temurun dari dulu hingga saat ini. Sekarang ditempati empat kepala keluarga (KK) tapi masih keturunan semua.
"Kalau saya tahunya simbah Martodinomo, bapaknya simbah saya kurang tahu. Kan mesti sudah ditempati berketurunan berapa hingga sekarang dan tidak ganti-ganti keturunannya," katanya.
Bentuk rumahnya masih asli seperti dulu dan masuk dalam bangunan cagar budaya. Karena memang tidak boleh rumah oleh pemerintah, untuk perbaikan pun harus izin terlebih dahulu.
Untuk ukuran rumah sekitar 25 meter x 10 meter. Dindingnya pakai kayu jati dan tidak halus, atapnya juga pakai kayu. Untuk lantai pakai batu bata dan tidak boleh diganti dengan keramik.
Bahkan antara kayu dengan kayu tidak dipakai di paku tapi dengan pasak. Jadi dilubangi terus diberi kayu dan untuk genteng sudah diganti semua.
"Bentuknya masih sama seperti dulu belum pernah dirubah. Perawatan ada tapi dari pemerintah, kalau dilakukan sendiri jelas tidak mampu karena mahal dan harus hati-hati," imbuh dia.
Bentuk rumahnya itu seperti rumah Joglo jadi tidak ada kamar, cuma disekat-sekat saja. Jadi itu ada bangunan utama lalu gandok atau bangunan tempat tinggal yang menempel di samping kiri atau kanan rumah utama. Terus ngomah dan sentong di bagian belakang.
"Jadi seperti rumah Joglo, ada kanan kiri, tengah terus bagian belakang," sambungnya.
Dulu rumah ini ditempati oleh simbah dan keturunannya, sebelum juga sudah. Simbah Martodinomo itu punya 10 anak dan awalnya di sini semua, lalu menikah dan punya rumah pindah, ada juga yang sudah menikah dan tinggal di sini karena belum punya rumah sendiri.
"Dulu ramai sekali, sering buat kumpul keluar besar. Saya dari lahir di sini dan sangat mengesankan serta banyak pengalaman," tandas dia.
Ada Bunker
Dulu di rumah ada bunker dan mungkin kebanyakan rumah di Kampung Batik Laweyan miliki bunker.
Bunker ada di bagian rumah gandok dengan ukuran 5 x 20 meter. Waktu zaman Belanda, kalau tentara Belanda datang pada sembunyi di bunker.
"Dulu ada bunker, tapi sudah ditutup. Di sini dulu jadi kampung perjuangan, jari hampir kebanyakan rumah punya bunker. Dulu ada rumah yang dibom oleh Belanda," terang dia.
Kontributor : Ari Welianto