SuaraSurakarta.id - COVID-19 varian Omicron masih menjadi momok tersendiri di masyarakat. Apalagi varian terbaru itu kini memiliki sub varian yang tengah menyebar di masyarakat dunia.
Dokter spesialis penyakit dalam dr. RA. Adaninggar PN, Sp.PD, mengatakan bahwa tidak pernah ada dua varian yang sama-sama dominan di suatu tempat atau di suatu negara.
dr. Ning menjelaskan bahwa varian yang lebih cepat menular akan mendominasi di suatu daerah atau negara dan ini terjadi pada Omicron. Saat ini, di seluruh dunia termasuk di Indonesia sudah didominasi oleh Omicron.
Berdasarkan hasil dari Genome Sequencing, Omicron sudah mendominasi kasus penyebaran, dengan 96 persen, sedangkan sisanya yang 4 persen adalah varian lain.
Baca Juga: Tips Hidup Berdampingan dengan Covid-19, Ini 3 Hal yang Harus Persiapkan
Untuk gejalanya sendiri, berdasarkan kasus yang dihadapi dr. Ning sehari-hari, sebenarnya tidak ada yang bisa membedakannya. Baik varian Delta maupun Omicron dapat menyebabkan anosmia, hanya saja tidak sebanyak yang dialami penderita Delta.
Untuk Omicron, gejala umum yang dialami adalah infeksi saluran pernapasan atas seperti sakit tenggorokan dan batuk pilek. Sementara itu, mereka yang dirawat di rumah sakit akibat Omicron tetap mengalami gejala yang sama seperti pasien dengan varian sebelumnya, yakni badai sitokin dan pneumonia.
"Oleh karena itu, apa pun variannya, kita tidak dapat mengatakan bahwa varian ini tidak lebih berbahaya dari Delta," ujar dr. Ning dikutip dari ANTARA pada Kamis (7/4/2022).
dr. Ning juga menjelaskan perihal subvarian Omicron yang disebut sebagai Siluman (BA.2 atau Son of Omicron). Menurutnya, virus akan terus bermutasi membentuk varian dan varian juga akan membentuk subvarian.
Hal tersebut dianggap biasa karena ini merupakan sifat alami dari virus. Seperti varian Delta yang juga memiliki puluhan subvarian. Subvarian Siluman (BA.2) cukup menghebohkan karena di beberapa negara yang kasus Omicronnya sudah lebih dulu tinggi, menduga bahwa BA.2 menjadi salah satu penyebab yang menghambat penurunan kasus.
Baca Juga: Meski Muncul Subvarian Omicron, Pakar Sebut Covid-19 di Indonesia Mulai Terkendali
Dari beberapa penelitian terbukti bahwa BA.2 bersifat dua setengah kali lipat lebih menular dibandingkan BA.1. Namun, secara penelitian di laboratorium, tingkat keparahan akibat subvarian BA.2 ini mirip Delta, jadi lebih banyak di paru-paru daripada di saluran pernapasan atas seperti BA.1.
"Yang ditakutkan adalah apabila mirip Delta berarti lebih cepat menular dan menyebabkan gejala yang parah karena berada di paru-paru. Akan tetapi, penelitian di laboratorium itu belum terbukti di dunia nyata sampai sekarang," kata dr. Ning.
Salah satu bentuk pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan vaksinasi. Sebab vaksin terbukti efektif mencegah gejala berat dan kematian.
Menurut dr. Ning, efektivitas vaksin harus dilihat dari kemampuan vaksin dalam mencegah seseorang masuk ke rumah sakit dan mencegah kematian.
Virus varian baru pasti mengalami perubahan bentuk, sedangkan antibodi bisa mengikat patogen atau mikroorganisme kalau spesifik sekali.
Apabila ada perbedaan sedikit saja, antibodi tidak bisa mengikat 100 persen, sehingga terjadi escape immunity. Jadi jika ada varian baru, seseorang yang sudah pernah kena virus atau sudah divaksin dan terkena lagi merupakan hal yang wajar.
"Sekarang kita menghadapi Omicron dan vaksin masih efektif karena orang-orang yang masuk ke rumah sakit akibat gejala berat jumlahnya sedikit dan yang meninggal jauh lebih sedikit dibandingkan waktu varian Delta. Ini merupakan bukti bahwa vaksin sangat efektif," jelas dr. Ning.
Selain vaksin, protokol kesehatan juga tetap wajib dijalankan untuk mencegah penularan COVID-19. Sebab penularan dapat menimbulkan varian baru dan siklus itu akan terus berlanjut.
"Protokol kesehatan dan vaksinasi merupakan harga mati untuk mencegah penularan COVID-19 karena penularan dapat menimbulkan varian baru sehingga siklusnya akan terus seperti itu. Akibatnya, kita tidak akan berada dalam kondisi endemis," katanya.
Menurut data vaksinasi COVID-19 Nasional Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tanggal 28 Maret 2022 Pukul 18.00 WIB, penerima vaksinasi dosis pertama sudah mencapai 195.992.326 dosis (94,11 persen), dosis kedua mencapai 158.062.017 dosis (75,89 persen), dan dosis ketiga sebesar 20.297.770 dosis (9,75 persen).
Berita Terkait
-
Pasar Saham Indonesia Terjun Hebat, Lebih Parah dari IHSG Era Pandemi COVID-19?
-
Trump Sempat Telepon Presiden China Soal Asal-Usul COVID, Ini Kata Mantan Kepala CDC!
-
Survei: Milenial Rela Rogoh Kocek Lebih Dalam untuk Rumah Modern Minimalis
-
Trump Tarik AS dari WHO! Salahkan Penanganan COVID-19
-
Kronologi Dewi Soekarno Didenda Pengadilan Jepang Rp3 Miliar Gegara Pecat Karyawan
Terpopuler
- Dedi Mulyadi Syok, Bapak 11 Anak dengan Hidup Pas-pasan Tolak KB: Kan Nggak Mesti Begitu
- Baru Sekali Bela Timnas Indonesia, Dean James Dibidik Jawara Liga Champions
- JakOne Mobile Bank DKI Diserang Hacker? Ini Kata Stafsus Gubernur Jakarta
- Terungkap, Ini Alasan Ruben Onsu Rayakan Idul Fitri dengan "Keluarga" yang Tak Dikenal
- Review Pabrik Gula: Upgrade KKN di Desa Penari yang Melebihi Ekspektasi
Pilihan
-
PT JMTO Bantah Abu Janda Jadi Komisaris, Kementerian BUMN Bungkam
-
Pantang Kalah! Ini Potensi Bencana Timnas Indonesia U-17 Jika Kalah Lawan Yaman
-
7 Rekomendasi HP Murah Rp 2 Jutaan RAM 8 GB Terbaik April 2025
-
Kurs Rupiah Selangkah Lagi Rp17.000 per Dolar AS, Donald Trump Biang Keroknya
-
Libur Lebaran Usai, Harga Emas Antam Merosot Rp23.000 Jadi Rp1.758.000/Gram
Terkini
-
Momen KGPAA Mangkunegara X Temui Warga di Tradisi Syawalan Pura Mangkunegaran
-
Panen Raya di Sukoharjo, Ahmad Luthfi: Jateng Kantongi 4,09 Juta Ton Padi
-
Wartawan Diancam dan Ditempeleng Ajudan Kapolri, Ketua PWI Solo: Ini Memalukan!
-
Guru Besar Teknik Industri UNS: Assistive Technology Layak Mendapat Perhatian Lebih
-
Kebersamaan Keluarga Keraton Solo Warnai Hajad Dalem Sungkeman Idul Fitri