Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 26 Maret 2022 | 14:55 WIB
Abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta saat menggelar sadranan di makam bekas Keraton Kartasura. [suara.com/ari welianto]

"Jadi ini sebagai rasa wujud doa anak keturunannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar leluhurnya dapat terima Tuhan," ungkap dia.

Memang tradisi sadranan digelar sebelum bulan Ramadhan. Karena pada masa Mataram Islam, Sultan Agung menyampaikan bahwa kebiasaan orang Jawa itu dilakukan pada bulan ruwah, bulan sebelum Ramadhan.

"Mungkin merupakan suatu momentum agar ada kesamaan kegiatan yang dilakukan warga dan kerajaan, seperti upacara atau kegiatannya," terangnya.

Dikatakannya, jika tradisi nyadran ini merupakan bentuk akulturasi atau perpaduan budaya. Jadi tradisi ini sudah ada sejak dulu dan turun temurun dilakukan oleh warga hingga sekarang.

Baca Juga: Momen Duduk Bersebelahan di Jumenengan KGPAA Mangkunegaran X, Putra Mahkota Keraton Solo Ajak Gusti Moeng Foto Bareng

"Tradisi ini merupakan budaya masyarakat Jawa. Ini sudah turun temurun sejak dulu hingga sekarang," tandas dia.

Di makam bekas Keraton Surakarta ini terdapat kerabat Keraton Kasunanan Surakarta.

Di sini terdapat juga makan Nyai Sedah Mirah. Beliau merupakan panglima perempuan yang melawan penjajah. 

Tradisi sadranan ini juga sebagai upaya untuk mengangkat kembali bekas Keraton Kartasura yang merupakan cikal bakal Keraton Kasunanan Surakarta dan Kota Solo.

Karena memang kondisi bekas Keraton Kartasura kurang terawat dan tembok keraton hampir roboh.

Baca Juga: Hadir Dalam Jumenengan KGPAA Mangkunegara X, Ini Harapan dari Trah Kerajaan Mataram Islam

Kontributor : Ari Welianto

Load More