SuaraSurakarta.id - Kampung Balong, Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Solo merupakan permukiman warga Tionghoa pertama di Kota Solo.
Sebelum menempati Kampung Balong, warga Tionghoa tinggal di sekitaran Pasar Gede, seperti pinggir-pinggir jalan.
Kampung Balong itu awalnya merupakan kawasan perkebunan, ada juga pemakaman pada pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta.
Nama Balong itu dari kata balung, jadi saat warga Tionghoa menjadikan kawasan tersebut banyak menemukan balung atau tulang manusia, kemudian berubah menjadi Balong hingga saat ini.
Baca Juga: Warga Diminta Sembahyang Kubur di Rumah, Ritual Bakar Wangkang Dipantau via Sosmed
"Awal mulanya, orang-orang Tionghoa itu tidak tinggal di Kampung Balong. Tapi di seputaran Pasar Gede, tinggalnya di pinggir-pinggir jalan," ujar Sejarawan Solo, Candra Halim saat ditemui Suarasurakarta.id, Minggu (30/1/2022).
Menurutnya, dari kacamata sosiologi orang-orang yang tinggal di Kampung Balong termasuk kelompok menengah ke bawah.
Aktivitas ekonomi mereka banyak menjadi buruh, kuli, pedagang atau sebagainya. Dulu jumlah orang-orang Tionghoa disitu cukup banyak.
Namun, di situ malah hidup harmonisasi antara orang Tionghoa dan orang Jawa.
"Dulu mereka yang tinggal Balong termasuk kelompok menengah ke bawah," kata Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini.
Baca Juga: Gaduh Donasi Rp 2 Triliun Akidi Tio, Terburu-buru atau Tertipu?
Pada pemerintahan Raja Keraton Kasunanan Surakarta, Paku Buwono (PB) X sekitar tahun 1900 an, menempatkan orang-orang Tionghoa di kampung yang sekarang disebut Sudiroprajan.
Kemudian kampung tersebut dibangun dengan baik oleh PB X, klenteng yang merupakan tempat peribadatan juga diperbaharui.
Namun, VOC yang waktu itu masih berkuasa memberlakukan Wijkenstelsel atau pemukiman khusus dan Passestelsel atau pembatasan mobilitas dengan pemberlakukan sistem pas jalan.
Biasanya yang dikhususkan dari orang-orang Asia Timur, seperti Tionghoa, Arab, India.
Orang Tionghoa ada di Sudiroprajan, orang Belanda ada di Loji Wetan (Sangkrah), dan orang Arab di Pasar Kliwon.
Jadi orang-orang Tionghoa dilarang bermukim di luar Sudiroprajan. Mereka semakin diperketat di wilayah Sudiroprajan.
"Kenapa demikian, karena disitu jalur perdagangan. Kalau lihat Kali Pepe itu dulu aktif sebagai lalu lintas transportasi hubungan antara Keraton dengan dunia luar," papar dia.
Setelah tahun 1919, sudah tidak lagi diberlakukan Wijkenstelsel dan Passestelse, artinya dibebaskan oleh Belanda. Maka orang-orang Tionghoa, sudah tidak lagi tinggal di dalam Sudiroprajan.
Banyak orang-orang Tionghoa itu menyebar di sekitar pusat perekonomian, seperti Coyudan, Ketandan, dan berbagai tempat di Solo.
"Meski banyak yang menyebar, namun Kampung Balong tetap ada dan eksis hingga sekarang," ucapnya.
Berbaur dengan Orang Jawa
Di Kampung Bolon ini hidup orang-orang Tionghoa yang berbaur dengan Jawa. Harmonisasi antara Tionghoa dan Jawa terjaga dengan baik hingga sekarang.
Kehidupan sosial komunitas warga Tionghoa banyak mengalami perubahan, seperti upacara-upacara adat, nama, agama, kesenian, perkawinan, kematian, dan mentalitas.
Perubahan ini disebabkan adanya perkawinan campur dengan Jawa, dan penerimaan kebijakan asimilasi masa Orde Baru.
Keberadaan orang-orang Tionghoa di Solo itu dilakukan secara bertahap migrasi. Tidak tahu pastinya sejak kapan kedatangan mereka ke Solo.
Gelombang pertama itu, ada beberapa biksu yang masuk ke Solo. Tapi kedatangan mereka dilakukan secara bergantian.
Gelombang kedua, ketika zaman Dinasti Ming, termasuk penyebaran Islam ke Nusantara.
Pada gelombang ini mayoritas laki-laki, perempuannya sedikit. Kemudian gelombang ketiga itu, yang datang suami istri.
Makanya kemudian melahirkan apa yang disebut Tionghoa peranakan. Yang di Kampung Balong atau Sudiroprajan dan sekitarnya kebanyakan itu Tionghoa peranakan.
Menurut berbagai kajian, orang-orang Tionghoa sudah ada sejak terjadinya konflik keraton. Di mana melakukan pemberontakan kepada Paku Buwono II dan VOC.
Peristiwa pemberontakan tersebut atau disebut geger pecinan terjadi pada 1742.
"Berdasarkan beberapa literasi sekitar tahun 1700 an orang-orang Tionghoa sudah ada di Solo. Pintu masuk kedatangan mereka itu dari Semarang," jelas dia.
Dulu ketika PB X, ada Bok Teko di Kampung Balong. Di mana dulu buat nongkrong orang-orang Tionghoa.
Ketika itu ada PB X yang meninjau, karena memang PB X suka jalan-jalan. Kemudian PB X ikut berbaur dengan warga bercengkerama serta ngobrol-ngobrol.
Bahkan saat masih terdapat Prasasti Bok Teko di wilayah Kampung Balong.
Kontributor : Ari Welianto
Tag
Terpopuler
- Vanessa Nabila Bantah Jadi Simpanan Cagub Ahmad Luthfi, tapi Dipinjami Mobil Mewah, Warganet: Sebodoh Itu Kah Rakyat?
- Reaksi Tajam Lex Wu usai Ivan Sugianto Nangis Minta Maaf Gegara Paksa Siswa SMA Menggonggong
- Kini Rekening Ivan Sugianto Diblokir PPATK, Sahroni: Selain Kelakuan Buruk, Dia juga Cari Uang Diduga Ilegal
- TikToker Intan Srinita Minta Maaf Usai Sebut Roy Suryo Pemilik Fufufafa, Netizen: Tetap Proses Hukum!
- Adu Pendidikan Zeda Salim dan Irish Bella, Siap Gantikan Irish Jadi Istri Ammar Zoni?
Pilihan
-
Kekerasan di Pos Hauling Paser, JATAM Desak Pencabutan Izin PT MCM
-
Jelajah Gizi 2024: Telusur Pangan Lokal Hingga Ikan Lemuru Banyuwangi Setara Salmon Cegah Anemia dan Stunting
-
Pembunuhan Tokoh Adat di Paser: LBH Samarinda Sebut Pelanggaran HAM Serius
-
Kenapa Erick Thohir Tunjuk Bos Lion Air jadi Dirut Garuda Indonesia?
-
Sah! BYD Kini Jadi Mobil Listrik Paling Laku di Indonesia, Kalahkan Wuling
Terkini
-
Selamatkan PT Sritex Sukoharjo, Komisi VII DPR RI Sepakat Bakal Revisi UU Kepailitan
-
Bahan Baku PT Sritex Menipis, Jumlah Karyawan yang Dirumahkan Bakal Bertambah
-
Kesetiaan Cinta Ahmad Luthfi dan Pesan Amanah dari Mendiang Sang Istri
-
Tas Mewah Kaesang Pangarep Dipertanyakan, LP3HI dan MAKI Gugat Bea Cukai Solo
-
Rokok Polos Ancam Ribuan Pekerja! Petani, Buruh dan Akademisi Bersuara